PRIORITAS, 12/1/25 (Shanghai): Informasi terkini menyebutkan, para miliarder China ramai-ramai meninggalkan negara tersebut setelah pemerintah memberi peringatan terkait terkait ketidakstabilan ekonomi.
Disebutkan, hal itu juga dipicu oleh meningkatnya tarif perdagangan, terutama setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS).
Euro News menulis, Minggu (12/1/25), banyak pengusaha kaya di China kini tengah bersiap untuk pindah ke negara lain. Berdasarkan laporan Henley & Partners, sebanyak 13.800 miliarder China telah meninggalkan negeri tirai bambu tersebut sejak 2022.
Kebijakan dorong konsumsi dan investasi
Untuk mengantisipasi hal ini, Partai Komunis China meluncurkan berbagai kebijakan guna mendorong konsumsi domestik dan investasi. Langkah-langkah ini bertujuan untuk menahan penurunan nilai mata uang yuan dan menjaga stabilitas pasar saham, terutama karena ekonomi China menghadapi tekanan besar akibat krisis properti serta dampak pandemi.
Di samping itu, Pemerintah China juga berencana meningkatkan subsidi untuk program daur ulang kendaraan lama dan peralatan usang guna mendorong pembelian produk hemat energi.
Dilaporkan, hingga Juni 2024, program ini telah berhasil mengganti 6,5 juta kendaraan berbahan bakar fosil dengan kendaraan listrik dan hibrida.
Dilarang lakukkan inspeksi berlebihanĀ
Selanjutnya, untuk mengatasi miliarder China pindah ke luar negeri, pemerintah juga telah memberikan subsidi hingga 20 persen. Juga diberikan untuk berbagai jenis peralatan, termasuk perangkat digital seperti Ponsel, serta guna perbaikan mesin pabrik yang sudah tua.
Dalam laporannya, disebutkan pula, Wakil Menteri Kehakiman Hu Weilie mengingatkan, para pejabat lokal untuk tidak melakukan inspeksi yang berlebihan sehingga mengganggu kegiatan usaha.
Sebagaimana Xinhua melansir, aturan baru ini dirancang untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, penyitaan aset tanpa alasan jelas, dan larangan produksi yang tidak beralasan.
Kemudian, Perdana Menteri Li Qiang menyatakan, langkah-langkah ini merupakan bagian dari upaya memperbaiki iklim bisnis di China.
Diketahui, kebijakan ini juga muncul setelah adanya laporan sejumlah pejabat telah menahan aset atau menghentikan operasi perusahaan karena kesulitan anggaran di tingkat pemerintah daerah.
Belum keluarkan stimulus berskala besar
Akan tetapi, hingga kini China belum mengeluarkan stimulus ekonomi berskala besar dan lebih memilih kebijakan yang terarah serta bertahap.
Sementara itu, Bank sentral China juga berkomitmen menjaga stabilitas nilai yuan dan pasar keuangan. Nilai yuan yang melemah terhadap dolar AS memberikan keuntungan bagi daya saing ekspor, tetapi menimbulkan risiko pada hubungan perdagangan dengan mitra internasional.
Kemudian, pasar saham China, setelah sempat naik pada September 2024, kembali melemah. Indeks Shanghai Composite turun ke angka sekitar 3.200 setelah sebelumnya mencapai hampir 3.700.
Persempit ruang kritik publik
Terkait kondisi terkini, pihak Partai Komunis China semakin mempersempit ruang untuk kritik publik, termasuk dalam diskusi ekonomi. Beberapa akun media sosial milik ekonom yang mengkritik kebijakan pemerintah dilaporkan telah diblokir, sebagai bagian dari upaya untuk mendukung kepemimpinan Presiden Xi Jinping.
Selanjutnya, Think Tank Rhodium Group memperkirakan pertumbuhan ekonomi China tahun lalu hanya mencapai 2,4 persen hingga 2,8 persen, jauh di bawah target resmi sebesar lima persen.
Disebutkan, faktor utama yang menghambat pertumbuhan ekonomi hingga miliarder China pindah ke luar negeri ialah tekanan anggaran, penurunan harga properti, dan stagnasi upah. Tidak ada kebijakan signifikan yang diumumkan yang diperkirakan akan membawa perubahan besar pada lapangan kerja atau gaji dalam waktu dekat. (P-jr)