PRIORITAS, 24/8/25 (Washington): Sikap Presiden Rusia Vladimir Putin yang tidak ingin melakukan pertemuan pembahasan damai dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, membuat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump frustrasi.
“Kalau mereka tidak mau bertemu, saya akan tahu apa yang harus saya lakukan dalam 2 minggu,” kata Trump kepada wartawan di Washington DC, seperti dikutip Beritaprioritas.com hari Minggu (24/8/25).
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menegaskan Putin menolak bertemu dengan Zelensky, kecuali Ukraina lebih dahulu menyetujui tuntutan lama Moskow terkait penyelesaian perang.
“Putin siap bertemu dengan Zelensky ketika agenda sudah jelas. Dan saat ini, agenda itu sama sekali belum siap,” katanya dalam wawancara dengan NBC.
Pernyataan itu memupus harapan Trump yang sempat mengeklaim terobosan dalam misi perdamaiannya.
Penolakan Putin ini, juga menyebabkan Trump harus menelan kekecewaan dan kemunduran diplomatik.
Sebelumnya Trump dengan percaya diri mengumumkan dirinya telah memulai pengaturan pertemuan langsung antara Putin dan Zelensky.
Trump menuai sambutan positif dari para pemimpin Eropa. Janjinya untuk mendukung jaminan keamanan bagi Ukraina pascaperang, juga sempat menumbuhkan optimisme. Namun, dalam hitungan hari, sikap Rusia kembali menutup celah diplomasi.
Putin justru menegaskan kekuatannya dengan mengunjungi kota Sarov, yang menjadi pusat program nuklir Rusia sejak 1940-an. Langkah itu dianggap sebagai sinyal Moskow tidak melunak meski ada tekanan internasional.
Perangkap Putin
Perkembangan negatif itu membuat Ukraina bersama sekutu Barat mendesak jaminan keamanan baru untuk mencegah agresi Rusia di masa depan.
Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte yang bertemu Zelensky di Kyiv menyatakan dukungan terhadap proposal dua lapis, yakni memperkuat militer Ukraina pascaperang dan memberikan komitmen keamanan dari AS dan Eropa.
Para diplomat Eropa juga memperingatkan adanya jebakan dalam strategi Putin.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, menilai tuntutan agar Ukraina menyerahkan wilayahnya hanyalah cara Rusia memperlambat proses perdamaian.
“Rusia ingin kita masuk ke perangkap itu. Rusia tidak pernah memberi konsesi apa pun, sementara merekalah agresornya,” tegas Kallas.
Ketidakpastian ini kian terasa setelah Rusia melancarkan salah satu serangan udara terbesar ke Ukraina yang juga menghantam pabrik elektronik AS di Ukraina barat, Kamis malam.
Serangan tersebut melibatkan 574 drone atau pesawat tanpa awak dan 40 peluru kendali (rudal) jarak jauh.
“Putin melakukan tindakan gila. Jelas ia tidak ingin mengakhiri perang,” kata Zelensky.
Dengan sikap keras Rusia dan tuntutan yang belum bisa diterima Ukraina, upaya Trump menjembatani perundingan Putin-Zelensky tampaknya masih jauh dari berhasil.(P-Jeffry W)