PRIORITAS, 16/8/25 (Manado): Sulawesi Utara (Sulut) bisa menjadi daerah percontohan (pilot project) nasional dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan, khususnya dalam produksi gandum dan kedelai.
Hal itu terungkap dalam diskusi sejumlah profesor pertanian dengan para Majelis Keluarga Besar Permesta, yang dipimpin, Philip Pantouw.
Pantouw menilai, daerah Sulawesi Utara, punya banyak lahan subur yang dapat dikembangkan menjadi lahan pertanian terpadu, untuk mendukung ketahanan pangan di Indonesia.
Karena itu, ia mengundang sejumlah profesor yang ahli di bidang pertanian, untuk membahas gagasan tersebut.
Hadir Prof. Dr. Ir. Jeany Mandang, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Bobby Polii, M.Sc, dan Prof. Dr. Ir. Wenny Tilaar, M.Sc. Para guru besar pertanian ini, ternyata telah berhasil menanam gandum dan kedelai di Sulawesi Utara.
Menurut Pantouw, Sulut harus jadi percontohan, adalah bentuk dukungan langsung terhadap program besar Presiden Prabowo Subianto, dalam memperkuat ketahanan pangan nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan pangan strategis.
“Sulut harus ambil bagian sebagai daerah pionir. Kita punya potensi lahan, SDM, dan semangat masyarakat untuk menjadikan daerah ini sebagai sentra produksi kedelai dan gandum,” katanya, seperti dikutip Beritaprioritas.com dari Manado Post, hari Sabtu (16/8/25).
Masih impor
Ia memaparkan Indonesia selama ini Indonesia masih mendatangkan gandum dari sejumlah negara. Bahkan Indonesia berada di peringkat keempat sebagai pengimpor gandum terbesar di dunia. Tak hanya gandum, ketergantungan terhadap impor kedelai juga masih sangat tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022, impor kedelai Indonesia mencapai 2,32 juta ton dengan nilai lebih dari USD 1,1 miliar.
Impor gandum dan meslin (campuran gandum hitam) bahkan mencapai angka 9,35 juta ton, digunakan untuk industri makanan dan pakan ternak.
“Kita impor 80 persen kebutuhan kedelai dan seluruh gandum. Padahal kita punya tanah yang bisa ditanami dan rakyat yang siap bekerja. Ini momentum untuk berubah,” tegas Philip.
Menurut Philip, Sulut memiliki berbagai keunggulan yang memungkinkan daerah ini menjadi pusat produksi kedelai dan gandum nasional, antara lain, iklim dan tanah yang cocok untuk pertanian komoditas pangan, ketersediaan lahan pertanian yang luas serta dukungan sosial budaya masyarakat terhadap pertanian.
Dia menambahkan, jika Sulut menjadi proyek percontohan, akan menjadi model yang bisa ditiru daerah lain di Indonesia
“Kalau kita serius, kita tidak hanya bisa swasembada kedelai dan gandum, tapi juga ekspor. Ini waktunya Sulut ambil peran strategis dalam pembangunan nasional,” paparnya.
Ujicoba sudah berhasil
Para guru besar dalam diskusi tersebut, menanggapi beragam. Prof. Dr. Ir. Jeany Mandang menjelaskan, upaya diversifikasi pangan di Sulawesi Utara mulai menunjukkan langkah konkret.
Salah satu pakar pertanian ini mengungkapkan telah melakukan uji coba penanaman gandum di daerah Tomohon dan ternyata bisa tumbuh dengan baik.
“Saya coba tanam gandum. Tapi hanya satu musim,” kata Prof. Syeni. Meski hasilnya masih terbatas, uji coba ini menjadi langkah awal yang penting dalam melihat potensi gandum di wilayah nontradisional.
Selain gandum, uji coba tanaman kedelai juga telah dilakukan di Tompaso Baru, yang merupakan daerah transmigran asal Jawa. Hasilnya bagus.
Hanya saja, menurutnya, tantangan utama adalah kurangnya kedekatan petani lokal dengan tanaman kedelai. “Petani di Sulut belum akrab dengan kedelai,” ujarnya.
Padahal, tanaman kedelai sejatinya cukup fleksibel dan bisa tumbuh di dataran rendah maupun tinggi. Oleh karena itu, upaya awal diarahkan untuk mencukupi kebutuhan dalam provinsi terlebih dahulu.
“Minimal bisa memenuhi kebutuhan Sulut saja dulu. Baru kita pikirkan untuk kebutuhan nasional,” tambahnya.
Pemetaan wilayah
Prof. Dr. Ir. Wenny Tilaar, M.Sc, pakar pertanian lainnya, mengingatkan tentang mewaspadai potensi ancaman hama terhadap varietas hasil rekayasa genetik.
“Yang dikhawatirkan adalah serangan hama,” katanya, menekankan pentingnya pengendalian terpadu dalam pengembangan varietas baru.
Dari sisi perencanaan, Prof. Dr. Ir. Bobby Polii, M.Sc, menegaskan perlunya pemetaan wilayah yang cocok untuk tanaman gandum dan kedelai.
“Harus ada peta daerah mana yang cocok. Rencana lokasi harus disertai dengan informasi tentang persyaratan tumbuh, budidaya, kesuburan tanah, dan ketersediaan air,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya penerapan prinsip “Panca Usaha Tani” agar produktivitas bisa maksimal.
Salah satu varietas kedelai lokal yang sudah pernah dikembangkan adalah “Kedelai Lokon” pada era Presiden Soeharto.
Komoditas ini berpotensi besar untuk dikembangkan kembali, terlebih dalam mendukung industri pakan ternak yang terdiri dari 50% jagung dan 15% kedelai.
Di bawah pohon kelapa
Menariknya, lahan di bawah pohon kelapa yang tersebar ribuan hektare di Sulawesi Utara, dinilai sangat potensial untuk ditanami kedelai dan gandum secara tumpang sari. “Bisa hasilkan hingga 160 ribu ton,” sebutnya.
Lahan berstatus APL (Areal Penggunaan Lain) seluas 7.200 hektare pun, disebut bisa dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian rakyat melalui pendekatan terintegrasi yang dikoordinasikan Pusat Pertanian Rakyat.
Langkah-langkah ini dinilai berbobot dalam memperkuat ketahanan pangan lokal dan mengurangi ketergantungan terhadap impor, khususnya untuk komoditas strategis seperti gandum dan kedelai.
Dalam diskusi yang dipandu moderator Elisa Regar itu, turut hadir mantan Walikota Manado, Wempie Frederik, Roy Sumual, Pdt Jobert Warouw, Set Lomowa, Abraham Paendong, Herry Marbung, Dolfie Kotambunan, dan pengurus Majelis Keluarga Besar Permesta.(P-Jeffry W)