PRIORITAS, 24/7/25 (Jakarta): Kekurangan dokter dan tenaga medis masih menjadi masalah utama dalam sistem kesehatan Indonesia. Laporan Philips Future Health Index (FHI) 2025 menyebutkan, 77 persen pasien harus menunggu lama untuk bertemu dokter spesialis.
Setengah dari pasien yang disurvei menyatakan kondisi kesehatannya memburuk akibat keterlambatan penanganan. Bahkan, 45 persen dari mereka akhirnya harus menjalani rawat inap. Lonjakan beban layanan ini dinilai sebagai tekanan sistemik yang terus meningkat terhadap infrastruktur kesehatan nasional.
Presiden Direktur Philips Indonesia, Astri Ramayanti Dharmawan, menyebut bahwa teknologi seperti AI dapat membantu mengatasi masalah tersebut. Namun, keberhasilan adopsinya sangat tergantung pada tingkat kepercayaan publik dan tenaga medis terhadap teknologi tersebut.
“Teknologi bisa bantu efisiensi dan deteksi dini, tapi kalau tidak dipercaya oleh pasien maupun dokter, adopsinya tidak akan maksimal,” ujar Astri dalam media briefing laporan Philips FHI 2025 di Jakarta, seperti dikutip Beritaprioritas dari CNBCIndonesia.com, Kamis (24/7/25).
Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Ketua Tim Transformasi Teknologi dan Digitalisasi Kesehatan (TTDK), Setiaji mengatakan, pemerintah sudah membentuk tim lintas sektor bernama POKJA AI. Tim tersebut melibatkan dokter, akademisi, praktisi IT, hingga pelaku industri.
“Kita ingin AI ini menjadi pre-consultation assistant. Bukan untuk menggantikan dokter, tapi membantu masyarakat melakukan triase lebih cepat dan akurat,” jelas Setiaji.
Ia menyebut ada tiga area prioritas yang sedang dikembangkan: analisis citra medis (seperti X-ray dan MRI), genomic dan precision medicine, serta sistem konsultasi berbasis chatbot. AI untuk deteksi 30 jenis penyakit paru bahkan sudah tersedia. Tantangan utamanya terletak pada perlindungan data dan interoperabilitas sistem.
Di tingkat fasilitas layanan, RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita telah menerapkan AI dalam berbagai proses diagnostik. Direktur Utama RS, Dr. dr. Iwan Dakota, Sp.JP(K), menyebutkan penggunaan AI sudah mencakup alat seperti MRI, CT-scan, dan echocardiography.
“Kami pakai alat yang bisa pantau ritme jantung pasien 24 jam nonstop, dari haji sampai liburan,” ungkap Iwan.
Adopsi teknologi robotik
Rumah sakit juga telah mengadopsi teknologi robotik dalam operasi bypass jantung. Namun, tantangan utama bukan pada alat, melainkan membangun kepercayaan pasien.
“Yang paling berat itu membangun kepercayaan. Pasien sering tanya, dari mana data ini, apakah akurat. Kita harus edukasi mereka dan transparan,” tambahnya.
Berbeda dengan rumah sakit pemerintah, Mandaya Hospital Group menghadapi dilema dalam memilih dan mengadopsi teknologi AI. Presiden Direktur Mandaya Hospital Group, dr. Ben Widaja, menyebut investasi AI jauh lebih kompleks dibanding membeli alat medis biasa.
“Kalau beli MRI, jelas bentuknya. Tapi kalau salah beli teknologi AI, bisa hilang begitu saja,” kata Ben.
Mandaya telah menggunakan deep learning untuk pemindaian medis, alarm otomatis untuk pasien rawat inap, dan asisten digital untuk survei kepuasan. Namun menurut Ben, teknologi tetap tidak bisa menggantikan interaksi manusia dalam layanan kesehatan.
“Kita butuh dokter dan perawat yang ngerti AI, bukan hanya satu dua. Karena kalau cuma dari atas saja (C-level), nggak akan jalan,” ucapnya.
Laporan FHI 2025 mencatat 84 persen tenaga medis di Indonesia percaya AI bisa meningkatkan kualitas layanan. Tetapi hanya 41 persen yang yakin bahwa alat yang digunakan sesuai kebutuhan. Sebanyak 56 persen mengeluhkan waktu mereka lebih banyak tersita untuk dokumen administratif daripada untuk merawat pasien.
“Ini bukan cuma soal alat atau regulasi. Kita harus bicara soal desain sistem yang manusiawi, yang bantu dokter dan pasien merasa terlibat dan terlindungi,” kata Astri.
Philips menilai bahwa pelatihan, sistem data aman, dan transparansi merupakan fondasi kepercayaan terhadap AI.
“Makanya kami percaya bahwa foundation-nya adalah percaya dulu. Kalau tidak, adopsi teknologinya hanya akan jadi proyek, bukan solusi,” tutup Astri. (P-Khalied Malvino)