PRIORITAS, 13/6/25 (Sangihe): Keberagaman budaya Nusantara merupakan kekayaan natural anugerah Sang Khalik. Salah satunya tradisi “Seke Maneke” yang unik dan secara turun temurun dilestarikan komunitas warga di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara (Sulut).
Ya, saat embun masih menyelimuti bumi dan langit fajar belum sepenuhnya membuka tirainya, denting tradisi membangunkan Pulau Para Lelle, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Kamis (12/6/25), menjadi hari yang ditunggu-tunggu warga. Yaitu pelaksanaan tradisi adat Seke Maneke, sebuah ritual penangkapan ikan tradisional yang diwariskan turun-temurun.
Dilaporkan, sehari sebelumnya, Rabu (11/6/25), menjelang malam, digelar ritual Mamata, prosesi doa dan penghormatan kepada leluhur, alam, serta laut sebagai sumber kehidupan masyarakat pesisir. Upacara sakral ini menjadi penanda awal dari rangkaian Seke Maneke, dikutip dari Beritasatu, Jumat (13/6/25).
Pada Kamis dini hari sekitar pukul 03.00 Wita, sosok-sosok yang disebut Mengenggo mulai berkeliling kampung, membangunkan warga dari rumah ke rumah. Mereka adalah pengawal tradisi, menjaga irama budaya agar tetap hidup.
Lalu, tepat pukul 04.00 Wita, perahu-perahu nelayan mulai berlayar menembus gelapnya laut. Di titik-titik yang telah ditentukan secara adat, alat tangkap tradisional Seke Maneke dipasang oleh tua-tua adat dan panitia.
Sesungguhnya, tradisi ini tak hanya soal menangkap ikan, tetapi juga menyatukan manusia, alam, dan spiritualitas dalam satu tarikan napas budaya.
Identitas budaya daerah
Kemudian, menariknya, kehadiran bupati dan wakil bupati Sangihe di atas perahu nelayan menunjukkan, Seke Maneke bukan sekadar ritual lokal, melainkan bagian penting dari identitas budaya daerah yang diakui hingga tingkat pemerintahan.
Selanjutnya, pantai Para Lelle pagi itu penuh sesak. Ratusan orang berkumpul, dari warga lokal, tamu provinsi, wisatawan kabupaten, hingga turis mancanegara. Semua menanti momen sakral ketika alat tangkap ditarik ke darat, dengan semangat, harap, dan kamera yang tak henti merekam.
Tetapi tahun ini, kejutan muncul bukan dari melimpahnya hasil tangkapan, melainkan sebaliknya. Jumlah ikan yang didapat sangat sedikit, jauh berbeda dari ribuan ekor tahun sebelumnya.
Salah perhitungan?
Terkait itu, Benhur Takasihaeng, pemerhati adat dan budaya sekaligus putra asli Para Lelle, menjelaskan, kemungkinan besar kesalahan terjadi dalam perhitungan waktu tradisional, yang biasanya didasarkan pada pengamatan bulan.
“Seharusnya pelaksanaan dilakukan sekitar tanggal 17 atau 18 dalam perhitungan bulan ketujuh (Letu), saat air laut naik sempurna. Namun, kali ini dilakukan saat bulan purnama (Limangu), yang membuat kondisi laut tidak mendukung,” jelas Benhur.
Namun, meski hasil tangkapan sedikit, makna tradisi tidak luntur. Seke Maneke bukan tentang banyaknya ikan, melainkan mengenai kesetiaan pada warisan leluhur, keterhubungan dengan alam, dan semangat kolektif sebuah kampung dalam menjaga denyut budayanya di tengah laut yang sunyi. (P-*r/Bst/jr)