PRIORITAS, 19/3/25 (Jakarta): DPR RI membawa Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) ke tahap pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna, semakin dekat untuk disahkan menjadi undang-undang. Keputusan ini menuai pro serta kontra dari berbagai pihak, terutama terkait dengan sejumlah poin krusial dalam revisi undang-undang tersebut.
Pendukung RUU TNI berpendapat revisi ini penting menyesuaikan peran TNI dengan tantangan keamanan modern, termasuk ancaman siber serta perang asimetris. Perluasan peran TNI dalam tugas-tugas non-militer dianggap memperkuat stabilitas nasional, terutama dalam situasi darurat.
Poin-poin Pro:
- Memperkuat peran TNI menghadapi ancaman siber serta perang asimetris.
- Memungkinkan TNI lebih fleksibel membantu tugas-tugas non-militer seperti bencana alam serta pengamanan strategis.
- Perpanjangan usia pensiun memberikan kesejahteraan lebih bagi prajurit serta menjaga stabilitas kepemimpinan di tubuh TNI.
Kelompok masyarakat sipil serta akademisi menilai revisi ini membuka celah bagi kembalinya dwifungsi ABRI, dapat mengancam supremasi sipil dalam pemerintahan. Salah satu poin yang paling disorot ialah perluasan izin bagi prajurit aktif menduduki jabatan sipil di 14 kementerian/lembaga, dinilai berpotensi mengaburkan batas antara militer serta pemerintahan sipil.
Poin-poin Kontra:
- Berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, bertentangan dengan prinsip demokrasi.
- Bisa mengaburkan batas antara militer serta pemerintahan sipil dengan memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil.
- Tumpang tindih kewenangan antara TNI serta lembaga sipil, dapat memicu gesekan di pemerintahan.
Ada kekhawatiran peran TNI dalam tugas non-militer bisa tumpang tindih dengan kewenangan institusi sipil, berpotensi menimbulkan gesekan antara lembaga negara. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga tegas menolak revisi ini dengan alasan dapat menghidupkan kembali dwifungsi ABRI serta mengancam demokrasi dan hak asasi manusia.
RUU TNI dijadwalkan dibahas dalam rapat paripurna pada Kamis (20/3/25). Jika mayoritas anggota DPR menyetujuinya, revisi ini akan resmi menjadi undang-undang. Namun, dengan banyaknya kritik yang muncul, beberapa pihak mendesak agar pembahasan lebih lanjut dilakukan dengan transparansi serta keterlibatan publik lebih luas. (P-r/Zamir A)