PRIORITAS, 21/6/25 (Karimun): Di balik hamparan laut biru dan heningnya ombak yang memeluk garis pantai, pulau-pulau kecil di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, menyimpan kekayaan ekologi yang luar biasa. Namun, jejak kerusakan akibat aktivitas pertambangan mulai merayap, menebar ancaman bagi biodiversitas yang hidup dalam sunyi dan tak bersuara.
Sebut saja Pulau Parit, desa kecil di Kecamatan Selat Gelam. Di pulau seluas 1.800 hektar ini, izinan tambang tanah urug seluas 15,02 hektar telah dikantongi pelaku industri, langsung dari kementerian pusat.
Tak jauh dari sana, Pulau Combol, yang dikenal sebagai salah satu pulau terluas di Karimun dengan daratan 5.877 hektar, bahkan lebih padat eksploitasi. Di sini terdapat tiga izin tambang granit dengan total luasan 534 hektar—nyaris 10% dari luas daratannya—yang diberikan kepada PT Pribumi Wiraraja Karimun, PT Trada Energia Mineral, dan PT Wira Alam Dharmawangsa.
Sementara itu, di sisi lain Karimun, Pulau Citlim juga tak luput dari tekanan. Pulau ini seluas 2.263 hektar kini menjadi rumah bagi dua izin pertambangan pasir, masing-masing oleh PT Asa Tata Mardivka (36,8 hektar) dan PT Berkah Maju Bersama (50 hektar). Luas yang mungkin terlihat kecil di atas kertas, tapi berdampak besar bagi ekosistem yang tak tergantikan.
Tak hanya di Karimun, bayang-bayang pertambangan juga membayangi pulau-pulau kecil lain di Kepulauan Riau seperti Pulau Serasan dan Pulau Subi Besar di Kabupaten Natuna, serta Pulau Bintan, Pulau Telan, Pulau Selayar, hingga Pulau Bakung dan Pulau Sebangka di Lingga. Perlahan, pesona bahari yang semestinya dijaga sebagai warisan generasi, dikebiri demi kepentingan ekonomi jangka pendek.
Bertentangan dengan komitmen dan regulasi
Ironisnya, di atas kertas Indonesia tampil sebagai negara dengan komitmen kuat terhadap pelestarian lingkungan. Sejak Deklarasi Stockholm tahun 1972, hingga Deklarasi Johannesburg 2022, Indonesia berulang kali menyatakan komitmennya terhadap pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Bahkan secara hukum nasional, puluhan regulasi tegas telah ditetapkan.
Undang-undang seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hingga UU No. 1 Tahun 2014 yang khusus mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, menegaskan bahwa pemanfaatan pulau kecil harus diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, dan kegiatan lestari. Dalam Pasal 23 Ayat 2 disebutkan secara eksplisit bahwa pertambangan bukanlah bagian dari skema pemanfaatan prioritas. Bahkan, Pasal 35 dengan terang melarang penambangan pasir, minyak, gas, dan mineral di wilayah tersebut.
Namun realitas berbicara lain. Praktik eksploitasi tetap berjalan di lapangan, menunjukkan betapa lemahnya penegakan hukum dan pengawasan.
Penduduk lokal di beberapa pulau mungkin melihat tambang sebagai peluang ekonomi. Namun, dampak jangka panjang dari pengrusakan lingkungan jauh melampaui keuntungan sesaat. Spesies endemik, kerusakan terumbu karang, hingga abrasi pesisir adalah harga mahal yang harus dibayar.
“Pulau-pulau kecil ini seperti benteng terakhir biodiversitas laut dan darat di Kepri. Kalau dibiarkan rusak, kita kehilangan lebih dari sekadar daratan—kita kehilangan identitas dan masa depan,” ungkap seorang akademisi lingkungan di Tanjungpinang yang enggan disebut namanya.
Menjaga warisan bahari, menyelamatkan masa depan
Pulau-pulau kecil semestinya menjadi titik awal pendidikan ekologi, riset ilmiah, dan destinasi pariwisata berkelanjutan. Namun jika tambang terus meluas, keindahan itu akan tinggal cerita.
Sudah saatnya negara, melalui pemerintah pusat dan daerah, mengevaluasi seluruh izin tambang di pulau-pulau kecil. Bukan hanya soal legalitas administratif, tetapi soal moralitas terhadap alam dan generasi yang akan datang.
Pulau-pulau kecil bukan milik investor semata. Mereka adalah warisan bersama, yang harus dijaga—bukan digadaikan. (P-Jeff K)