PRIORITAS, 24/1/25 (Jakarta): Nota keberatan lima mantan pejabat PT Antam Tbk ditolak Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam sidang putusan sela hari ini, Jumat (24/1/25). Sidang tersebut terkait kasus dugaan korupsi tata kelola komoditas emas Antam seberat 109 ton periode 2010–2022 yang diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp3,31 triliun .
Menurut Hakim Ketua, Dennie Arsan Fatrika, surat dakwaan penuntut umum terhadap kasus tersebut telah memenuhi ketentuan, dan keberatan yang diajukan telah memasuki pokok perkara.
“Memerintahkan kepada penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara ini berdasarkan surat dakwaan tersebut,” kata Hakim Ketua dalam sidang putusan sela majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat.
Kelima mantan pejabat Antam dimaksud adalah Vice President (VP) Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) Antam periode 2008–2011, Tutik Kustiningsih, VP UBPP LM Antam periode 2011–2013, Herman, Senior Executive VP UBPP LM Antam 2013–2017, Dody Martimbang, General Manager (GM) UBPP LM Antam periode 2017–2019, Abdul Hadi Aviciena, dan GM UBPP LM Antam periode 2019–2020, Muhammad Abi Anwar.
Tidak ada kekeliruan

Dalam penilaian Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika, setelah majelis hakim membaca dan meneliti surat dakwaan dalam perkara tersebut, tidak ditemukan adanya kekeliruan, baik mengenai orang yang keliru (error in persona) maupun mengenai bentuk dan susunan surat dakwaan yang salah atau keliru.
Dengan demikian, kata Dennie Arsan Fatrika, penuntut umum dalam surat dakwanya telah menguraikan secara cermat, jelas, dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan dan telah mencantumkan tempat dan waktu tindak pidana dilakukan.
“Surat dakwaan penuntut umum dalam perkara ini telah memenuhi syarat formal maupun materiil, sehingga oleh karenanya keberatan penasihat hukum terdakwa harus dinyatakan tidak dapat diterima,” ucapnya, dilansir dari Antara.
Mengenai keberatan lainnya di luar surat dakwaan, Hakim Ketua berpendapat materi eksepsi telah mengemukakan adanya fakta hukum serta menarik suatu kesimpulan yang sudah masuk ke dalam materi pokok perkara, sehingga kebenarannya harus dibuktikan terlebih dahulu pada persidangan.
Dengan demikian, keberatan tersebut dinilai tidak beralasan menurut hukum dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Rugikan negara Rp3,31 triliun
Dalam kasus tersebut, sejumlah enam orang mantan pejabat Antam didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp3,31 triliun karena, antara lain melakukan kerja sama emas cucian dan lebur cap emas dengan pihak ketiga (perorangan, toko emas, ataupun perusahaan) non-kontrak karya sepanjang periode 2010–2022.
Kendati demikian, kerja sama yang dilakukan diduga tidak disertai kajian bisnis intelijen dan kajian informasi potensi peluang secara akurat, tidak dilakukan kajian legal dan complience, tidak dilakukan kajian risiko, serta tidak ada persetujuan dari Dewan Direksi.
Enam orang mantan pejabat Antam tersebut meliputi Vice President (VP) Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) Antam periode 2008–2011 Tutik Kustiningsih, VP UBPP LM Antam periode 2011–2013 Herman, serta Senior Executive VP UBPP LM Antam 2013–2017 Dody Martimbang.
Selanjutnya General Manager (GM) UBPP LM Antam periode 2017–2019 Abdul Hadi Aviciena, GM UBPP LM Antam periode 2019–2020 Muhammad Abi Anwar, serta GM UBPP LM Antam periode 2021–2022 Iwan Dahlan. Namun, Iwan tak mengajukan nota keberatan atas dakwaan yang diberikan.
Atas perbuatannya, enam orang terdakwa diduga melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke- 1 KUHP.
Perbuatan enam orang mantan pejabat Antam tersebut dilakukan bersama-sama tujuh orang terdakwa pihak swasta selaku pelanggan jasa pemurnian dan jasa peleburan emas yang disidangkan secara terpisah.
Tujuh orang terdakwa dimaksud, yakni Lindawati Efendi, Suryadi Lukmantara, Suryadi Jonathan, James Tamponawas, Ho Kioen Tjay, Djudju Tanuwidjaja, dan Gluria Asih Rahayu. (P-ht)