28.5 C
Jakarta
Saturday, July 26, 2025

    Mitigasi Potensi Tiga Ketum Pasca Kongres Persatuan PWI Agustus 2025

    Terkait

    Oleh: Hendra J. Kede, S.T., S.H., M.H., GRCE,
    Mediator, Pemerhati Tata Kelola Organisasi berbasis GRC/Profesional Mediator/Ketua Dewas YLBH Catur Bhakti

    Disclaimer: Isi tulisan ini merupakan pandangan pribadi saya. Tidak mewakili pandangan lembaga atau institusi manapun. Tidak ditujukan untuk menyerang, mendorong, atau menghambat siapapaun untuk menjadi Calon Ketua Umum PWI Pusat.

    Steering Committee (SC) dan Organizing Committee (OC) Kongres Persatuan Persatuan Wartawan Indonesia (Kongres Persatuan PWI) telah resmi memulai kerja terhitung semenjak terbitkanya Surat Keputusan (SK) Pembentukan SC-OC Kongres Persatuan.

    SK SC-OC ditandatangani oleh Hendry Ch Bangun dan Iqbal Irsyad atas nama PWI Pusat hasil Kongres XXV 2025, dan Zulamsyah Sekedang dan Wina Armada atas nama PWI hasil Kongres Luar Biasa (KLB) 2024, tanggal 11 Juni 2025.

    Salah satu tugas berat SC adalah memastikan bahwa seluruh proses Kongres Persatuan dan produk hukumnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, termasuk dan tidak terbatas proses pemilihan Ketum dan legalitas Ketum terpilih. SC juga perlu mengantisipasi potensi komplikasi hukum pasca Kongres Persatuan yang berpotensi memecah belah kembali PWI.

    Selama 79 tahun sejarah PWI, sejak berdiri tanggal 9 Februari 1946, tidak pernah ada pemilihan Ketua Umum (Ketum) kecuali posisi Ketum dalam keadaan sudah kosong. Baik kosong karena Ketum berhalangan tetap, maupun kosong karena kepengurusan didemisionerkan forum Kongres setelah LPJ.

    Pergantian Ketum melalui Kongres Luar Biasa (KLB) pun demikian. Pemilihan baru bisa dilaksanakan setelah KLB menolak klarifikasi Ketum terkait materi yang menjadi alasan KLB digelar yang implikasi hukumnya Ketum diberhentikan KLB.

    Pertanyaan dan Implikasi Hukum

    Bagaimana proses pemilihan Ketum dalam Kongres Persatuan PWI pada Agustus 2025 mendatang di Jakarta?

    Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, Kesepakatan Jakarta adalah dasar hukum utama pelaksanaan Kongres Persatuaan. Kesepakatan Jalarta merupakan terobosan hukum akibat tidak adanya aturan mengenai Kongres Persatuan dalam Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD & PRT) PWI.

    Norma-nomra dalam Kesepakatan Jakarta yang ditandatangani Hendry Ch Bangun (Ketum hasil Kongres PWI XXV) dan Zulmansyah Sekedang (Ketum hasil KLB) tanggal 16 Mei 2025 dan dilanjutkan dengan menerbitkan SK penetapan SC dan OC, menjadi norma hukum yang mendasari keabsahan pelaksanaan Kongres Persatuan PWI.

    Hal ini melahirkan beberapa pertanyaan seputar pemilihan Ketum PWI di Kongres Persatuan tersebut, diantaranya:

    Pertanyaan pertama. Apakah Ketum hasil Kongres XXV dan Ketum hasil KLB didemisionerkan terlebih dahulu sebelum pemilihan Ketum baru?

    Kalau jalan ini yang ditempuh SC, muncul komplikasi hukum karena norma demisioner itu hanya bisa diberlakukan terhadap Ketum yang telah berakhir periodesasi masa jabatannya secara normal.

    Disamping itu, pendemisioneran juga harus didahului dengan penyampaian Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) oleh Ketum yang sedang menjabat.

    Faktanya, kedua Ketum belum berakhir periode kepengurusannya sesuai amanah Kongres masing-masing. Dan kabarnya juga tidak ada sesi penyampaian LPJ oleh Kedua Ketum pemanda tangan Kesepakatan Jakarta pada Kongres Persatuan nanti.

    Maka, bagaimana mungkin norma hukum demisioner bisa digunakan Pimpinan Sidang sebelum proses pemilihan Ketum dilaksanakan tanpa meninggalkan bom waktu komplikasi hukum dikemudian hari?

    Pertanyaan kedua. Apakah kedua Ketum diberhentikan terlebih dahulu?

    Jika jalan ini yang ditempuh SC, pertanyaannya adalah alasan hukum apa yang dapat digunakan peserta Kongres Persatuan unruk meberhentikan kedua Ketum yang sedang menjabat? Dan merujuk kepada norma hukum yang mana pemberhentian itu?

    Kalau merujuk kepada norma hukum KLB,  maka harus ada proses Ketum menyampaikan klarifikasi terlebih dahulu terkait sebuah kasus yang dituduhkan kepada kepada Kedua Ketum yang menjadi dasar pelaksanaan KLB. Pertanyaannya adalah apa kasus yang ditiduhkan kepada kedua Ketum secara formal?

    Mekanisme pemberhentian ini hanya bisa dilaksanakan setelah Kongres Persatuan menolak klarifikasi dari kedua Ketum sehingga Ketum secara hukum dapat diberhentikan oleh Kongres Persatuan.

    Jangan lupa, pemberhentian itu normanya adalah akibat adanya pelanggaran jika dikaitkan dengan Kongres di tengah jalan. Sehingga sebelum Kongres harus jelas dugaan pelanggaran yang dituduhkan secara resmi dan formal.

    Pemberhentian kedua Ketum lalu mengganti kedua Ketum tanpa didahului alasan diatas hanya akan menjadi bom waktu hukum dikemudian hari.

    Sekali lagi, jika jalan ini yang ditempuh SC, pertanyaan kepada CS adalah tuduhan pelanggaran apa yang dituduhkan kepada kedua Ketum yang akan menjadi materi klarifikasi keduanya untuk dinilai Kongres Persatuan nanti?

    Implikasi hukum lainnya, karena ada dua Ketum, jika klarifikasi keduanya diterima oleh peserta Kongres Persatuan, bukankah keduanya memiliki hak hukum untuk tetap pada posisinya sebagai Ketum secara otomatis?

    Sementara jika klarifikasi salah satunya yang diterima dan yang lain ditolak, maka Ketum yang klarifikasinya diterima bukankah memiliki hak hukum untuk tetap menjabat sebagai Ketum PWI?

    Dan jika klarifikasi keduanya ditolak, bukankah konsekuensi hukumnya adalah keduanya diberhentikan?. Baru setepah itu dilakukan pemilihan Ketum yang baru. Dan keduanya tentu tidak boleh mencalonkan diri kembali.

    Pertanyaan Ketiga. Apakah Ketum diberhentikan bersamaan dengan terpilihnya Ketum yang baru?

    Pilihan ini mengandung komplikasi hukum yang lebih berat. Pemilihan Ketum disaat posisi Ketum tidak kosong dan masih ada yang menjabat, bukankah sama saja dengan pembangkangan?

    Dan yang lebih kompleks urusan hukumnya adalah jika salah satu atau keduanya (Ketum hasil Kongres XXV dan Ketum hasil KLB) ikut kembali dalam kompetisi perebutan posisi Ketum.

    Bagaimana seseorang berstatus sebagai sebagai Calon Ketum memperebutkan jabatan yang sedang disandangnya untuk masa jabatan yang masih sah dipegangnya beberapa tahun kedepan?

    Bertambah kompleks, jika ada Calon Ketum dari anggota biasa atau pengurus PWI yang bukan Ketum yang sedang menjabat. Bukankah ini berarti anggota PWI berkompetisi dengan Ketum yang sedang menjabat untuk jabatan yang masih disandangnya?

    Bagaimana mungkin Ketum yang sedang menjabat melawan pengurus dan anggotanya sendiri untuk jabatan Ketum yang sedang dijabatnya?

    Perlu diingat, tidak ada klausul dalam Kesepakatan Jakarta tentang kapan Hendry Ch Bangun dan atau Zulmansyah Sekedang berakhir masa jabatannya sebagai Ketum.

    Kesepakatan Jakarta hanya mengatur bahwa siapapun yang memenuhi syarat dapat mencalonkan atau dicalonkan sebagai Ketum.

    Dan Kesepakatan Jakarta itulah terobosan hukum yang memanyungi dan menjadi dasar keabsahan Kongres Persatuan secara hukum.

    Tiga Ketua Umum

    Jika pemilihan Ketum dilakukan terlebih dahulu sebelum pengosongan jabatan Ketum yang saat ini (berdasarkan dokumen SK SC-OC Kongres Persatuan)  dijabat oleh Hendry Ch Bangun dan Zulmansyah Sekedang, maka Ketum PWI akan menjadi 3 (tiga) orang yaitu Ketum hasil Kongres Bandung 2023, Ketum hasil KLB Jakarta 2024, dan Ketum hasil Kongres Persatuan Jakarta 2025.

    Betapa runyamnya kondisi PWI jika hal ini yang terjadi. Kongres Persatuan yang seharusnya menyelesaikan masalah legalitas hukum tentang legakitas hukum Ketum PWI, malah menambah masalah hukum baru yang lebih kompleks dan rumit.

    Skenario Mitigasi

    Sepanjang perenungan saya, skenario paling aman dari sisi hukum adalah Hendry Ch Bangun dan Zulmansyah Sekedang dengan kesadaran masing-masing menyatakan berhenti dan mendemisionerkan kepengurusan PWI Pusat masing-masing.

    Hal itu dilakukan dalam forum Kongres Persatuan sesaat sebelum pemilihan Ketum dilaksanakan, lalu disahkan oleh Pimpinan Sidang, dan dibuatkan Berita Acaranya dimana keduanya ikut menandatangani Berita Acara tersebut, disamping tandatangan Pimpinan Sidang.

    Pertanyaannya adalah bagaimana SC dapat meyakinkan kedua Ketum agar bersedia melakukan hal demikian?

    Karena dibalik pernyataan berhenti seorang Ketum dari jabatannya, melahirkan sebuah pertanyaan etis, apakah Ketum yang menyatakan berhenti ditengah jalan masih memiliki standar etis untuk mengikuti kontestasi pemilihan Ketum sebagai Calon Ketum?

    Penutup

    Semuanya kembali Steering Committee (SC) dan kedua Ketum. Tanggung jawab untuk memastikan tidak adanya problematika hukum pasca pemilihan Ketum PWI Pusat di Kongres Persatuan nanti ada pada pundak SC dan kedua Ketum yang menunjuk SC tersebut.

    Hal demikian karena Kongres Persatuan ini merujuk kepada Kesepakatan Jakarta yang disepakati dan dirumuskan oleh kedua Ketum.

    Harapan puluhan ribu anggota PWI dan publik luas adalah pasca Kongres Persatuan hanya ada satu orang Ketum PWI Pusat dengan legalitas hukum yang kuat, tanpa ada celah hukum sedikitpun dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengganggu rekonsiliasi dan stabilitas PWI yang dengan susah payah diperjuangkan.

    Semoga bermanfaat, terima kasih.

    Viral

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    Headline News

    Terkini