PRIORITAS, 13/4/25 (Stockholm): Sungguh miris. Banyak warga mengalami kelaparan karena tidak mampu membeli makanan di Swedia, negara terkaya ketujuh di dunia. Hal ini terungkap dari hasil survei lembaga independen Swedia untuk kesejahteraan keluarga di negara tersebut.
Menurut hasil survei asosiasi bantuan Majblomman, Palang Merah dan Radda Barnen- cabang Save the Children di Swedia- bersama dengan asosiasi penyewa Hyresgastforeningen, satu dari tiga orang tua tunggal di Swedia dilaporkan tidak mampu menyediakan cukup makanan untuk keluarga mereka.
“Kami melihat ibu dan ayah tunggal dengan anak-anak yang tidak memiliki penghasilan besar, memiliki situasi yang sangat buruk di Swedia saat ini,” ungkap sekretaris jenderal asosiasi bantuan Majblomman, yang memerangi kemiskinan anak, Ase Henell, seperti dikutip Beritaprioritas.com dari CNBC Indonesia, hari Minggu (13/4/25).
Jika orangtua miskin, ketimpangan ekonomi yang paling parah memang akhirnya menimpa anak-anak mereka. “Mereka harus memilih antara makanan dan pakaian, dan anak-anak tidak dapat pergi ke pelatihan sepak bola atau pergi ke les musik. Mereka kekurangan konteks sosial,” ujarnya.
Akibat inflasi
Swedia, salahsatu negara Nordik sebenarnya dikategorikan kaya dibanding wilayah lain di Eropa Utara, karena pendapatan perkapitanya cukup tinggi. Tak heran Swedia masuk dalam kelompok 10 negara terkaya di dunia dengan menempati urutan ketujuh.
Tetapi akhir-akhir ini, Swedia yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa, sebanyak 16,2 persen penduduknya berisiko jatuh miskin, lapor The Borgen Project. Swedia juga telah mengalami inflasi tinggi selama beberapa tahun, terutama harga pangan. Hal ini menyebabkan banyak rumah tangga dibebani dengan pembayaran hipotek yang besar, setelah bertahun-tahun mengalami suku bunga tinggi.
Survei ini dilakukan oleh Verian antara 30 Januari dan 21 Februari 2025 menemukan 29% rumah tangga orang tua tunggal, mengalami “kesulitan” dalam memberi makan keluarga mereka dengan cukup. Ada peningkatan sembilan poin persentase dari tahun 2024.
Survei ini menanyai 1.112 orang tua tunggal yang berpenghasilan kurang dari 30.000 krona (sekitar Rp 49.437.300) per bulan, serta pasangan dengan anak-anak yang berpenghasilan kurang dari 43.000 krona per bulan.
Pinggiran lebih buruk
Situasinya semakin memburuk bagi orang-orang yang hidup di daerah pinggiran kota. “Anak-anak paling terpengaruh oleh kesenjangan ekonomi dan terlalu cepat terbebani dengan konsekuensinya,” kata Sekretaris Jenderal Palang Merah Swedia, Ulrika Modeer.
Anak-anak dari keluarga miskin di Swedia, secara naluriah terpaksa harus menyesuaikan kebutuhan sekunder hidup mereka dengan kemampuan orangtuanya.
“Anak-anak tahu persis kapan gaji dan tunjangan sosial orang tua mereka dibayarkan, misalnya, dan menghindari menyebutkan kegiatan atau tamasya yang membutuhkan biaya”, katanya.
Selain itu, banyak anak berusia 16 atau 17 tahun yang baru saja mendapatkan pekerjaan musim panas pertama mereka, tetapi tidak mampu membayar transportasi umum untuk pergi ke tempat kerja.
“Transportasi umum sangat penting bagi keluarga-keluarga ini, mereka tidak mampu untuk pergi ke kegiatan sepulang sekolah atau bertemu teman-teman mereka,” kata Henell dari Majblomman.
Organisasi sosial terpaksa menanggulanginya “Kami memberi mereka kartu transportasi, sehingga mereka bisa mendapatkan gaji pertama mereka,” ungkapnya.
Organisasi-organisasi tersebut telah meningkatkan bantuan keuangannya untuk anak-anak sebesar 12 juta krona dalam dua tahun terakhir.
Untuk membendung ketimpangan, keempat organisasi tersebut meminta pemerintah Swedia untuk meningkatkan pembayaran tunjangan keluarga dan mengindeksnya terhadap inflasi. Pemerintah juga memperkenalkan kegiatan rekreasi gratis dan transportasi umum untuk semua anak yang tergolong miskin. (P-Jeffry W)