PRIORITAS, 23/7/25 (Washington): Pemerintah Indonesia menyepakati paket dagang bilateral dengan Amerika Serikat (AS). Namun, isi perjanjian itu lebih banyak memberi kelonggaran bagi ekspor AS ketimbang keuntungan timbal balik untuk Indonesia.
Dokumen resmi Gedung Putih mengungkapkan kesepakatan tarif baru dan pelonggaran syarat ekspor produk Amerika ke Indonesia. Di sisi lain, Indonesia justru membuka lebih banyak akses bagi barang dan data asal AS masuk tanpa hambatan berarti.
Gedung Putih menyebut kesepakatan ini sebagai “terobosan besar untuk manufaktur, agrikultur, dan sektor digital AS.” Namun, tidak disebutkan imbal balik signifikan bagi kepentingan perdagangan Indonesia.
Kesepakatan itu tidak hanya menyangkut tarif perdagangan semata, tetapi juga mencakup berbagai pelonggaran aturan yang sebagian besar menguntungkan pihak AS. Berikut poin-poin utama dari isi perjanjian dagang yang dirilis Gedung Putih:
-
RI longgarkan banyak aturan
Pemerintah Indonesia setuju mengecualikan barang ekspor AS dari aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), termasuk produk otomotif, kosmetik, farmasi, dan alat kesehatan.
“Presiden Donald J. Trump mengumumkan kesepakatan penting dengan Indonesia yang akan menyediakan akses pasar bagi warga Amerika di Indonesia,” bunyi pernyataan Gedung Putih, Selasa (22/7/25), seperti dikutip Beritaprioritas dari CNNIndonesia.com.
Indonesia juga menerima sertifikasi Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) tanpa verifikasi ulang. Langkah ini memudahkan barang ekspor AS mengakses pasar domestik tanpa prosedur karantina dan sertifikasi tambahan.
Sementara itu, tidak ada klausul eksplisit yang menyatakan produk Indonesia mendapatkan perlakuan serupa di AS.
2. Produk RI kena tarif 19 persen
Gedung Putih mencatat seluruh barang ekspor Indonesia ke AS kini dikenai tarif 19 persen. Padahal, sebelumnya tarif impor hanya berkisar 8 persen. Sebaliknya, barang ekspor AS ke Indonesia akan bebas tarif atau dikenai bea masuk 0 persen.
Kementerian Perdagangan RI belum mengeluarkan pernyataan resmi soal dampak kebijakan ini terhadap neraca perdagangan. Namun, catatan BPS mencatat ekspor ke AS mencapai USD 24,7 miliar sepanjang 2024.
Dengan tarif 19 persen, pelaku ekspor Indonesia berpotensi menghadapi tekanan biaya lebih besar dan kehilangan daya saing di pasar AS.
3. Sertifikasi dan lisensi dihapus sepihak
Pemerintah RI juga sepakat mencabut berbagai pembatasan lisensi impor dan inspeksi prapengiriman terhadap produk AS. Kelonggaran ini mencakup alat manufaktur, suku cadang, hingga bahan baku industri.
Dalam dokumen resmi Gedung Putih, Indonesia menyetujui penghapusan pembatasan lisensi untuk produk pertanian AS, termasuk daging sapi, ayam, dan susu. Pemerintah RI juga mengakui semua sertifikat ekspor produk makanan AS tanpa pengecekan ulang.
Kebijakan ini membuka celah ketimpangan proteksi antarproduk ekspor, yang dapat merugikan produsen lokal.
4. Data pribadi Warga RI bisa dikirim ke AS
Kesepakatan juga mencakup pemindahan data pribadi warga Indonesia ke AS. Pemerintah RI menyatakan bahwa AS dianggap memiliki standar perlindungan data pribadi “yang memadai.”
Gedung Putih menyebut reformasi ini sebagai permintaan lama perusahaan digital AS. Namun, hingga kini tidak ada penjelasan rinci mengenai dasar hukum dan mekanisme pengawasan pengiriman data tersebut di Indonesia.
5. RI setuju tambah impor
Indonesia berkomitmen menambah impor barang AS, terutama dari sektor pertanian, energi, dan dirgantara.
Dalam pernyataan Gedung Putih, pemerintah RI juga sepakat mencabut pembatasan ekspor mineral penting ke AS.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyatakan bahwa pelonggaran hanya berlaku bagi mineral yang sudah terproses.
“Mineral yang sudah terproses, all industrial commodities. Jadi bukan ekspor bijih mentah,” kata Dadan di Jakarta, Selasa (22/7), saat dikonfirmasi wartawan.
6. RI tak dapat konsesi baru
Meski memberi banyak kelonggaran, tidak ada ketentuan yang menyebut AS akan menurunkan hambatan nontarif terhadap ekspor Indonesia.
Penghapusan aturan ketat di sektor pertanian, misalnya, hanya dilakukan sepihak oleh Indonesia. Sedangkan produk agrikultur Indonesia seperti kelapa sawit dan udang masih menghadapi diskriminasi tarif dan kampanye hitam di pasar AS.
Laporan USTR 2025 bahkan tetap mencantumkan Indonesia dalam daftar pemantauan khusus untuk pelanggaran hak kekayaan intelektual. (P-Khalied Malvino)