Oleh Zaidan Fakhir Heryani*)
Di ERA yang serba cepat, serba digital, dan penuh kompetisi seperti sekarang, banyak orang terutama anak muda yang merasa terjebak dalam lingkaran tekanan sosial dan pencapaian semu. Mereka pun terdorong untuk terus terlihat “berhasil” di media sosial, tapi sering kehilangan arah dalam kehidupan nyata. Padahal motivasi hidup bukan soal pencapaian luar, melainkan tentang makna dari setiap langkah yang kita tempuh.
Motivasi bukanlah sekedar semangat sesaat, melainkan daya dorong yang membentuk ketahanan mental, arah hidup, dan integritas pribadi. Dalam riset oleh American Psychological Assosiation (APA), disebutkan, bahwa individu dengan motivasi intrinsik yang kuat cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik dan merasa lebih puas dalam hidup, dibanding mereka yang hanya mengejar validasi eksternal.
Kisah nyata: Motivasi yang lahir dari keterbatasan
Kisah perjuangan Nick Vujicic, pria asal Australia yang lahir tanpa tangan dan kaki, menjadi bukti nyata bahwa motivasi sejati lahir dari dalam diri. Alih-alih tenggelam dalam rasa kasihan, ia memilih untuk bangkit. Kini ia dikenal sebagai motivator internasional yang telah berbicara lebih dari 70 negara. Dalam setiap pesannya, Nick menekankan bahwa setiap manusia berharga dan punya tujuan, meski hidup tampak tidak sempurna.
Kisah Nick menekan-kan bahwa motivasi tidak harus datang dari keberlimpahan. Justru dalam keterbatasan, makna hidup bisa lebih mudah ditemukan. Ini penting untuk direnungkan, terutama oleh generasi muda yang sering merasa belum “cukup” dalam segala hal.
Fenomena “quarter-life crisis” dan pencarian jati diri
Laporan The Guardian menyebutkan, bahwa lebih dari 75 persen anak muda di usia 20-30 tahun mengalami apa yang disebut “quarter-life crisis” dimana kondisi psikologis yang ditandai dengan kecemasan eksistensial dan kebingungan arah hidup. Mereka merasa tertinggal dari teman-temannya, khawatir dengan masa depan, dan kehilangan motivasi.
Sayangnya banyak yang mencari pelarian melalui konten hiburan semata tanpa refleksi mendalam. Padahal motivasi sejati tumbuh saat seseorang mengenali dirinya sendiri. Proses ini bisa dimulai dari bertanya: “Apa yang membuat saya merasa hidup” atau “Apa yang saya lakukan meski tidak dibayar?” pertanyaan sederhana namun sering diabaikan.
Menurut Viktor Frankl, psikiater dan penyintas Holocaust dalam bukunya Man’s Search of Meaning, motivasi hidup sejati datang dari kemampuan seseorang menemukan makna, bahkan dalam penderitaan. Frankl berpendapat bahwa manusia tidak bisa hidup hanya dari kesenangan, tapi dari makna yang ia temukan dalam tugas dan relasinnya dengan orang lain.
Dalam konteks ini, nilai hidup yang dianut seseorang sangat menentukan. Nilai seperti ketulusan, tanggung jawab, dan ketekunan akan melahirkan motivasi yang tahan uji. Selain itu, lingkungan juga berperan penting.
Sebuah studi Harvard selama 75 tahun menemukan bahwa hubungan sosial sehat adalah faktor terbesar dalam menciptakan kebahagiaan dan umur panjang. Artinya, motivasi hidup bukan hanya soal diri sendiri, tapi juga tentang koneksi dengan sesama. Berikut beberapa cara sederhana namun efektif untuk membangun motivasi hidup:
Menentukan tujuan realistis
Hindari menetapkan target yang terlalu besar dalam waktu singkat. Pecah menjadi langkah kecil yang terukur.
Evaluasi dan refleksi diri
Luangkan waktu untuk menulis jurnal harian. Tanyakan pada diri sendiri apa yang membuat kamu bersyukur hari ini.
Kelilingi diri dengan energi positif
Pilih komunitas yang membangun dan mendukung visi hidupmu, bukan yang membuatmu merasa kecil atau tak berarti.
Belajar dari kegagalan
Motivasi hidup tidak selalu lahir dari kesuksesan. Justru kegagalan yang diolah dengan bijak akan membentuk ketangguhan batin.
Jaga keseimbangan
Tubuh, pikiran, dan jiwa harus berjalan seimbang. Olahraga, meditasi, dan istirahat yang cukup bisa menjaga energi positif.
Motivasi hidup bukan sekedar dorongan untuk bergerak, melainkan kompas batin yang menuntun kita pada arah yang tepat. Saat kita merasa kehilangan arah, itu bukan pertanda kita gagal, tapi undangan untuk kembali menggali makna.
Dalam dunia yang sibuk dan penuh distraksi, mari kita belajar untuk tidak sekedar hidup, tetapi menjalani hidup yang bermakna. Karena pada akhirnya, bukan seberapa jauh kita melangkah yang akan dikenang, tapi seberapa dalam kita menghayati setiap langkah itu. ***
*) Penulis adalah mahasiswa Jurnalistik Politeknik Jakarta