29.6 C
Jakarta
Thursday, July 10, 2025

    Ekspor daun salam RI jeblok, pasar Jepang tetap loyal

    Terkait

    PRIORITAS, 10/7/25 (Jakarta): Indonesia menyimpan peluang ekspor besar dari daun salam. Sayangnya, tren pengiriman ke pasar global justru terus menurun sejak 2022, meski permintaan tetap tinggi.

    Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai ekspor daun salam sepanjang 2024 hanya mencapai US$123.778. Angka itu turun lebih dari setengah dari capaian 2021 yang menembus US$301.506.

    Volume ekspor juga merosot drastis. Jika pada 2019 dan 2021 pengiriman daun salam hampir menyentuh 70 ton per tahun, kini volumenya hanya 23 ton. Padahal negara seperti Jepang dan Korea Selatan mencatatkan permintaan stabil bahkan meningkat.

    Jepang menjadi negara tujuan utama yang mencatatkan pembelian tertinggi sepanjang enam tahun terakhir. Nilai ekspor ke Jepang mencapai US$66.726 pada 2024. Produk yang dibeli umumnya berupa daun kering untuk bahan teh herbal, suplemen, dan produk perawatan kulit.

    Melansir CNBCIndonesia.com, Kamis (10/7/25), Korea Selatan mencatatkan lonjakan signifikan. Pada 2023, pembelian hanya US$6.604. Tapi pada 2024, nilainya meningkat menjadi US$16.608. Ekstrak daun salam mulai digunakan dalam formulasi suplemen pengatur gula darah dan produk herbal farmasi.

    Sementara itu, pasar Australia dan Belanda mengalami penurunan. Dua negara ini sebelumnya menjadi pembeli utama, terutama untuk produk bumbu instan dan kaldu herbal. Namun, persaingan dari India dan Sri Lanka, serta perubahan regulasi impor, mengurangi volume permintaan.

    Kendala mutu dan regulasi

    Penurunan ekspor tidak hanya dipicu pandemi, tetapi juga masalah mutu pascapanen dan standar produk. Banyak petani di Indonesia belum memiliki fasilitas pengeringan dengan kadar air rendah atau sistem pengepakan bersih.

    Produk yang diekspor masih banyak yang dijual dalam bentuk utuh tanpa proses pengolahan tambahan. Sementara itu, negara tujuan seperti Jepang dan Eropa menetapkan standar ketat terkait kadar pestisida dan kontaminan logam berat.

    Banyak eksportir kecil belum mampu memenuhi sertifikasi tersebut. Akibatnya, hanya beberapa pelaku besar yang mampu mempertahankan ekspor dalam jumlah terbatas.

    Daun salam atau Syzygium polyanthum mengandung flavonoid, eugenol, tanin, dan minyak atsiri. Senyawa ini terbukti memiliki efek antioksidan, antihipertensi, dan antidiabetik. Nilai fungsional ini menjadi alasan utama negara maju mencari produk berbasis daun salam.

    Laporan Allied Market Research menyebutkan pasar bahan herbal global diproyeksikan tumbuh rata-rata 7 persen per tahun hingga 2030. Konsumen kini lebih memilih produk alami yang berkhasiat untuk pencegahan penyakit.

    Sebagai negara tropis dengan keanekaragaman rempah, Indonesia memiliki peluang besar. Tapi tanpa standarisasi produk, pelatihan petani, dan fasilitas ekspor yang mendukung, potensi itu bisa terus tertinggal. (P-Khalied Malvino)

    Viral

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    Headline News

    Terkini