PRIORITAS, 21/12/24 (Jakarta): Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, memberikan klarifikasi mengenai isu uang elektronik yang menjadi objek pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen.
Dwi Astuti menegaskan, penerapan PPN pada layanan uang elektronik bukanlah objek pajak yang baru, karena hal ini sudah diterapkan sejak berlakunya Undang-Undang PPN Nomor 8 Tahun 1983.
Layanan uang elektronik tidak termasuk dalam daftar objek yang dibebaskan dari PPN, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dengan kata lain, jika tarif PPN dinaikkan menjadi 12 persen, transaksi uang elektronik juga akan dikenakan tarif tersebut.
“Pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983. Artinya bukan objek pajak baru,” ucap Dwi Astuti, Sabtu (21/12/24), dikutip dari Antara seperti diberitakan Beritasatu.com.
Layanan yang terkena PPN
PPN pada transaksi uang elektronik diatur secara teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022. Beberapa layanan yang dikenakan PPN antara lain transfer dana, penyelesaian akhir, kliring, gerbang pembayaran, switching, uang elektronik (e-money), dan dompet elektronik (e-wallet).