34 C
Jakarta
Friday, October 18, 2024

    DPR RI buka suara soal RUU Penyiaran

    Terkait

    PRIORITAS, 17/5/24 (Jakarta) : Mendapat penolakan Dewan Pers dan konstituennya serta masyarakat pers umumnya, akhirnya DPR RI dalam hal ini Komisi I pun buka suara soal Rancangan Undang Undang (RUU) Penyiaran yang sedang digodok.

    Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menepis tudingan bahwa Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengecilkan peran pers. “Tidak ada dan tidak pernah ada semangat ataupun niatan dari Komisi I DPR untuk mengecilkan peran pers,” kata Meutya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

    Dia menegaskan pula, Komisi I DPR menyadari bahwa keberlangsungan media yang sehat adalah penting. Bahkan, hubungan Komisi I DPR dengan Dewan Pers selaku mitra kerja, terjalin sinergis dan saling melengkapi, baik saat Dewan Pers diketuai oleh Bagir Manan (2010-2016), Mohammad Nuh (2019-2022), hingga Azyumardi Azra (2022).

    Hal itu, kata Meutya, dibuktikan pihaknya dalam upaya mendorong lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau Perpres “Publisher Rights”.

    Meutya pun menuturkan bahwa draf RUU Penyiaran saat ini masih berada di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan belum dilakukan pembahasan dengan Pemerintah.

    “RUU Penyiaran saat ini belum ada, yang beredar saat ini adalah draf yang mungkin muncul dalam beberapa versi dan masih amat dinamis. Sebagai draf tentu penulisannya belum sempurna dan cenderung multi tafsir,” katanya.

    Untuk itu, dia menegaskan bahwa Komisi I DPR membuka ruang seluas-luasnya terhadap berbagai masukan dari masyarakat terkait RUU Penyiaran. “Tentu setelah menjadi RUU maka RUU akan diumumkan ke publik secara resmi,” ucapnya.

    Dia menambahkan pula bahwa rapat internal Komisi I DPR pada Rabu (15/5) telah menyepakati agar Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran mempelajari kembali masukan-masukan dari masyarakat.

    “Komisi I DPR telah dan akan terus membuka ruang luas bagi berbagai masukan, mendukung diskusi dan diskursus untuk RUU Penyiaran sebagai bahan masukan pembahasan RUU Penyiaran,” kata dia.

    Sebelumnya, sebagaimana siaran pers yang diterima tim redaksi, Dewan Pers menolak Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dewan Pers menilai RUU Penyiaran akan melahirkan pers yang tidak merdeka hingga produk jurnalistik yang buruk.

    Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengaku menghormati DPR maupun pemerintah yang memiliki kewenangan secara konstitusional untuk menyusun sebuah regulasi, termasuk yang berkaitan dengan pemberitaan pers, baik melalui cetak, elektronik, dan lainnya.

    Meskipun demikian, terhadap draf RUU penyiaran versi Oktober 2023 Dewan Pers dan konstituen menolak sebagai draf yang mencerminkan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi sebagai mana yang dijamin dalam UUD 45.

    Ninik pun menjabarkan sejumlah argumentasi di balik penolakan tersebut. Dalam konteks politik hukum, Dewan Pers menilai tidak dimasukkannya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam konsiderans RUU ini mencerminkan tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran, termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform.

    Selain itu, Ninik juga menyoroti proses penyusunan RUU ini yang dinilai menyalahi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait penyusunan regulasi mesti melibatkan partisipasi masyarakat atau meaningful participation. Dewan Pers dan konstituen selaku penegak UU 40/1999 tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU Penyiaran ini.

    Ia turut menyoroti larangan media investigatif. Menurutnya, hal itu sangat bertentangan dengan UU 40/1999. Ada pasal yang memberikan larangan pada media investigatif. Ini sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam UU 40 Pasal 4. Karena kita sebetulnya dengan UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas. Penyiaran media investigatif itu adalah satu modalitas kuat dalam karya jurnalistik profesional.

    Dewan Pers juga ikut menyinggung RUU Penyiaran ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik akan dilakukan oleh lembaga yang sebetulnya tidak punya mandat penyelesaian etik terhadap karta jurnalistik. Dewan Pers merupakan lembaga yang diberi amanat oleh undang-undang untuk menyelesaikan sengketa pers.

    Sejumlah pihak telah melayangkan kritik terhadap proses pembahasan RUU Penyiaran. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai proses penyusunan revisi UU itu tertutup dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Mereka mengkritik draf revisi ini bahkan tidak ditayangkan dalam laman resmi DPR. Menurut AJI, penyusunan revisi UU Penyiaran ini mirip seperti UU Cipta Kerja, UU IKN, hingga UU KPK yang diam-diam jadi dan dibawa ke paripurna.

    Pasal Krusial

    Sementara Serikat Perusahaan Pers (SPS) menyoroti sejumlah titik kontradiktif dalam Draf RUU, seperti pada Pasal 50B ayat (2) yang menyebutkan dalam panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran memuat larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Hal ini bertentangan dengan UU Pers pasal 4 ayat (2) yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

    Lainnya, Pasal 8A ayat (1) Draf RUU menyebutkan bahwa KPI berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran. Kemudian Pasal 42 ayat (2) menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Hal ini bertentangan dengan UU Pers pasal 15 ayat (2) huruf C tentang salah satu tugas Dewan Pers, yaitu memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Hal ini memperlihatkan adanya tumpang tindih kewenangan antara KPI dan Dewan Pers.

    Berikut 5 (lima) pokok pernyataan SPS:
    1. Draf RUU tentang perubahan atas UU Penyiaran (versi Maret 2024) yang beredar di masyarakat, dinilai mengancam kemerdekaan dan kebebasan pers.

    2. Draf RUU Pasal 50B ayat (2) menyebutkan dalam panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran memuat larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Hal ini bertentangan dengan UU Pers pasal 4 ayat (2) yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

    3. Draf RUU Pasal 8A ayat (1) menyebutkan bahwa KPI berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran. Kemudian Pasal 42 ayat (2) menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini bertentangan dengan UU Pers pasal 15 ayat (2) huruf C tentang salah satu tugas Dewan Pers, yaitu memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Hal ini memperlihatkan adanya tumpang tindih kewenangan antara KPI dan Dewan Pers.

    4. UU Pers seharusnya menjadi rujukan bagi berbagai peraturan yang berkaitan dengan pers dan harus ada pelibatan Dewan Pers dan para konstituennya, serta komunitas pers dalam penyusunan draft RUU tersebut.

    5. SPS menyatakan menolak draf RUU tentang perubahan atas UU Penyiaran serta meminta peninjauan kembali terhadap proses perubahan tersebut. (P*/wl)

    - Advertisement -spot_img

    Viral

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    Terkini