PRIORITAS, 9/6/25 (Jakarta): Jakarta telah menempuh perjalanan panjang dalam mencari bentuk pemerintahan yang tepat. Pada dekade 1950-an, Indonesia mengadopsi sistem demokrasi parlementer yang cenderung liberal, namun kegagalannya dalam menciptakan pemerintahan efektif membuat kesejahteraan rakyat tidak kunjung terwujud.
Peralihan ke rezim Orde Baru (1966–1998) sempat meningkatkan indeks pembangunan manusia dan status sosial ekonomi, tetapi tuntutan akan keadilan dan kebebasan politik yang terabaikan memicu krisis hingga keruntuhan rezim tersebut. Dari sinilah lahir kesadaran, demokrasi Pancasila—yang berpijak pada sejarah dan nilai-nilai dasar bangsa—merupakan pilihan paling tepat untuk menjamin kesejahteraan dan kedaulatan rakyat.
Sebagai negara kesejahteraan (welfare state), NKRI mewajibkan pemerintah untuk memiliki orientasi kuat terhadap kesejahteraan sosial. Landasan konstitusional, seperti Pasal 33 UUD 1945, menegaskan, kegiatan ekonomi harus mempertimbangkan nilai religius, kemanusiaan, dan keadilan sosial.
Kemakmuran rakyat
Nilai sila kelima Pancasila tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat dipandang sebagai pilar utama dalam memperkecil jurang antara kaya dan miskin. Dengan demikian, negara tidak semata-mata pengatur, melainkan juga fasilitator kemakmuran rakyat.
Demokrasi Pancasila sendiri berfungsi sebagai katalisator bagi tercapainya tujuan-tujuan ekonomi tersebut. Melalui akses yang lebih luas kepada partisipasi politik, demokrasi Pancasila diharapkan membuka peluang bagi masyarakat untuk menuntut pendidikan tinggi, mengentaskan kemiskinan, dan meredam konflik sosial. Ketika akses politik terbuka, kebijakan publik menjadi lebih akuntabel, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat diarahkan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan hanya segelintir elit.
Setelah reformasi 1998, semangat demokrasi Pancasila diperkuat sebagai landasan bagi peta politik yang berfokus pada kesejahteraan sosial. Proses ini tidak instan melainkan harus dilalui dengan komitmen, sinergi, dan kesabaran semua pihak.
Memperjuangkan kesejahteraan bersama
Indonesia harus memastikan, ideologi negara dan arah kebijakan pemerintah selalu selaras untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama—suatu perjalanan panjang yang menuntut formula demokrasi yang tepat agar tak terjadi kesalahan arah ﹘ dari konsolidasi visi hingga implementasi kebijakan.
Pemikiran Bung Hatta menegaskan pentingnya kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan demokrasi ekonomi sebagai inti paham kerakyatan. Bagi Bung Hatta, kemerdekaan politik takkan bermakna tanpa kemandirian ekonomi yang terwujud melalui pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan rakyat dan penguatan koperasi sebagai wujud gotong-royong ekonomi. Prinsip ini menegaskan, pembangunan harus mengutamakan kepentingan rakyat banyak, bukan keuntungan kelompok tertentu.
Meski demikian, kualitas demokrasi Pancasila menghadapi tiga ancaman serius: korupsi luas sebagai penyalahgunaan kewenangan, politik uang yang merusak keaslian suara rakyat, dan politisasi birokrasi yang mempersulit pelaksanaan kebijakan publik.
Menghadapi tantangan globalisasi dan ketimpangan sosial, penerapan paham kerakyatan Bung Hatta—dengan penekanan pada keadilan sosial dan demokrasi ekonomi—menjadi inspirasi vital untuk merancang solusi yang inklusif dan berkelanjutan demi kesejahteraan bersama. (P-*r/Zamir Ambia)