PRIORITAS, 22/12/24 (Jakarta): Berbagai daerah di Indonesia kini tengah menyorot keberadaan ‘demam babi’ Afrika, atau African Swine Fever.
Diketahui, penyakit African Swine Fever (ASF) yang menyerang populasi babi ini pertama kali ditemukan di Sumatera Utara (Sumut) pada tahun 2019. Kini telah menyebar ke 32 provinsi, termasuk Papua, Papua Tengah, dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
Data yang terhimpun malahan menyebutkan, di Papua Tengah saja, dilaporkan sebanyak 6.273 ekor babi mati akibat ASF sepanjang bulan Januari 2024. Hingga kini, ribuan babi dilaporkan mati akibat terinfeksi ASF dan Indonesia masih belum memiliki vaksin untuk menangani wabah ini.
Akibat tingginya kasus ASF yang menyerang babi menimbulkan banyak kekhawatiran dan pertanyaan. Salah satunya ialah apakah virus atau demam babi Afrika ini dapat menular dan membahayakan manusia?
Nah, sebelum menjawab kekhawatiran tersebut, penting untuk memahami lebih dalam tentang apa itu demam babi Afrika.
Selanjutnya, berikut penjelasan yang telah dirangkum dari berbagai sumber terpercaya.
‘Demam babi’ Afrika
Ternyata, ‘demam babi’ Afrika (African Swine Fever/ASF) merupakan penyakit viral yang menyerang babi domestik dan liar, dengan tingkat penularan sangat tinggi dan angka kematian mendekati 100 persen.
Disebutkan, penyakit ini disebabkan oleh virus dari genus Asfivirus dalam keluarga Asfarviridae yang memiliki tingkat penularan dan angka kematian sangat tinggi pada populasi babi. Juga menyebar melalui kontak langsung dengan babi yang terinfeksi, konsumsi produk babi terkontaminasi, atau gigitan kutu pembawa virus.
Itulah sebabnya, ASF memiliki dampak besar terhadap industri peternakan babi dan ekonomi, terutama di negara-negara penghasil babi. Keberadaan ASF memerlukan langkah pencegahan ketat karena hingga kini belum ditemukan vaksin atau obat untuk mengatasinya.
Pertama kali kasus ini terdeteksi di Indonesia pada tahun 2019 dan secara resmi dinyatakan melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820/KPTS/PK.320/M/2019 tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi Afrika (African Swine Fever) yang melanda sejumlah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.
Disebutkan, virus ASF memiliki ketahanan yang luar biasa terhadap berbagai kondisi lingkungan. Sebagai contoh, virus ini dapat bertahan hingga 15 hari dalam urine, sehingga memungkinkan penyebarannya melalui cairan tubuh babi yang terinfeksi.
Ternyata, ketahanan virus ASF semakin mengkhawatirkan ketika berada dalam produk olahan daging babi. Pada suhu ruang, virus ini mampu bertahan aktif antara 105 hingga 300 hari, sehingga berpotensi menyebar melalui makanan atau produk berbahan dasar babi yang tidak diolah dengan baik.
Apakah menular dan membahayakan manusia?
Sebagaimana dikemukakan Kepala Biro Komunikasi Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemnkes) RI, Aji Muhawarman, virus ASF tidak menimbulkan bahaya bagi manusia.
Selanjutnya, pernyataan serupa disampaikan oleh Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) Provinsi Jakarta, Suharini Eliawati. Ia menegaskan, ‘demam babi’ Afrika merupakan penyakit yang hanya menyerang hewan babi.
“ASF merupakan penyakit yang hanya berdampak pada babi, tidak menular ke manusia atau tidak bersifat zoonosis,” tutur Eliawati kepada para wartawan belum lama berselang.
Karena itu, hingga saat ini, tidak ada bukti virus tersebut dapat menular dari hewan ke manusia, sehingga wabah ini tidak memiliki dampak langsung terhadap kesehatan manusia.
Tanggung jawab Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Diketahui, penanganan penyakit ini menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, bekerja sama dengan dinas terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Dalam upaya mencegah meluasnya penyebaran virus ASF, masyarakat diimbau agar segera melaporkan kepada petugas Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan setempat dalam waktu 1×24 jam jika menemukan babi yang sakit atau mati.
Di samping itu, menghindari aktivitas jual beli babi yang sedang sakit juga menjadi langkah penting untuk mengurangi risiko penularan penyakit ini. (P-jr)