PRIORITAS, 25/6/25 (Teheran): Proses pencarian pengganti Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, kini memasuki babak baru.
Santer disebutkan, putra Ali Khamenei bernama Mojtaba Khamenei (56 tahun), kini bersaing dengan cucu dari pendiri Republik Islam Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini, Hassan Khomeini (53 tahun).
Lima sumber yang mengetahui langsung diskusi-diskusi internal menyebut komite rahasia beranggotakan tiga ulama senior, yang dibentuk Ali Khamenei sendiri dua tahun lalu, kini mengintensifkan perencanaan suksesi.
Ali Khamenei, yang kini berusia 86 tahun, dilaporkan telah mengungsi bersama keluarganya dan berada di bawah perlindungan pasukan elite Garda Revolusi, Vali-ye Amr.
Ia menerima pengarahan rutin mengenai perkembangan diskusi suksesi, menurut seorang pejabat keamanan tinggi Iran.
“Jika Khamenei terbunuh, sistem pemerintahan akan segera menunjuk penerusnya untuk menunjukkan stabilitas dan kesinambungan,” ujar salah satu sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan kepada Reuters, seperti dikutip Beritaprioritas.com dari CNBC Indonesia, hari Rabu (25/6/25).
Kandidat Mojtaba Khamenei dikenal sebagai figur konservatif yang memiliki pandangan serupa dengan ayahnya dalam berbagai isu, mulai dari sikap keras terhadap oposisi hingga terhadap negara-negara Barat.
Ia tak pernah memegang jabatan resmi dalam pemerintahan Iran, namun diyakini berpengaruh kuat sebagai pengatur akses ke Khamenei.
Sebaliknya, Hassan Khomeini dikenal lebih moderat dan memiliki hubungan dekat dengan faksi reformis yang mengadvokasi pelonggaran sosial-politik. Meski demikian, ia tetap dihormati oleh ulama senior dan Garda Revolusi karena garis keturunannya.
Sebelum fasilitas nuklir Iran dibombardir AS, Hassan menyatakan dalam pesan publik: “Saya sekali lagi menyatakan dengan rendah hati bahwa hamba kecil dan tidak berarti ini siap hadir dengan bangga di medan mana pun yang Anda anggap perlu.”
Hassan lebih diterima
Lima sumber menyebut di tengah konflik terbaru dengan Israel dan Amerika, nama Hassan Khomeini menguat, karena dianggap sebagai figur yang bisa menghadirkan wajah, dan lebih bisa diterima baik secara domestik maupun internasional.
Meski Mojtaba disebut sebagai pilihan kesinambungan, sejumlah pihak di internal kekuasaan menyadari penerus bergaris keturunan langsung dari Khamenei, bisa memunculkan kekhawatiran rakyat Iran akan kembalinya sistem monarki yang justru ditumbangkan Revolusi Islam Iran pada 1979.
Bahkan, Ali Khamenei sendiri disebut beberapa kali menolak ide suksesi dari ayah ke anak.
“Apakah Republik Islam akan bertahan atau tidak, yang jelas akan menjadi sangat berbeda, karena konteks eksistensinya telah berubah secara mendasar,” kata analis politik Iran berbasis di London, Hossein Rassam.
Ia menilai Hassan Khomeini bisa menjadi figur transisi yang membawa perubahan pelan namun stabil.
Namun begitu, Dewan Penjaga yang didominasi faksi garis keras sebelumnya sempat melarang Hassan Khomeini mencalonkan diri dalam pemilu Majelis Ahli pada 2016.
Para perancang suksesi menyadari meski memiliki daya tarik luas di dalam negeri, ia juga membawa risiko politik internal dari kelompok konservatif.
Transisi rumit
Ancaman terhadap Ali Khamenei bukan hanya berasal dari usianya yang menua, tetapi juga dari luar negeri.
Presiden AS Donald Trump pekan lalu mengeklaim di media sosial pihaknya mengetahui lokasi persembunyian Khamenei.
“Kami tahu persis di mana si ‘Pemimpin Tertinggi’ itu bersembunyi. Dia target yang mudah,” tulisnya.
Situasi menjadi makin genting sejak Israel membunuh sekutu Ali Khamenei, Â pemimpin Hizbullah, Sayyed Hassan Nasrallah pada September lalu, serta serangan rudal terbaru AS terhadap fasilitas nuklir Iran.
Jika Khamenei wafat, proses pemimpin baru Iran bisa menjadi penuh tantangan.
Sejumlah komandan senior Garda Revolusi juga telah terbunuh dalam serangan udara Israel.
Ini semakin memperumit transisi kekuasaan di Iran, mengingat militer elite itu selama ini berperan penting menjaga otoritas pemimpin tertinggi.
Pengamat International Crisis Group, Ali Vaez, mengingatkan pemimpin baru Iran bisa saja tidak memiliki kekuatan sekuat Khamenei.
“Bisa saja muncul nama yang tidak dikenal, dan hanya dijadikan boneka oleh Garda Revolusi,” kata Ali Vaez.
Legitimasi dewan penjaga
Secara konstitusional, pemimpin tertinggi Iran dipilih Majelis Ahli yang beranggotakan 88 ulama senior.
Anggota majelis ini dipilih melalui pemilu nasional, namun hanya kandidat disetujui atau mendapat legitimasi Dewan Penjaga, berpihak pada Khamenei, yang bisa maju.
Sumber menyebut selain Mojtaba dan Hassan, beberapa nama lain telah tersingkir dari bursa suksesi.
Presiden Ebrahim Raisi yang dinilai kandidat kuat, telah tewas dalam kecelakaan helikopter tahun 2024.
Sedangkan tokoh senior seperti Hashemi Rafsanjani dan Mahmoud Hashemi Shahroudi juga telah wafat sebelumnya.
Ayatollah Sadegh Amoli Larijani juga disebut telah tersisih dari perhitungan.
Nama lain seperti Ayatollah Alireza Arafi masih disebut, namun dianggap tidak sekuat dua kandidat utama.
Proses suksesi kali ini mencerminkan sejarah Iran, saat Ruhollah Khomeini wafat pada 1989.
Saat itu, Ali Khamenei yang hanya seorang ulama menengah dan mantan presiden, dipilih meski awalnya diragukan banyak kalangan.
Namun dalam waktu tiga dekade, ia berhasil memusatkan kekuasaan dan mengandalkan Garda Revolusi untuk menekan lawan-lawan politiknya.
Siapapun yang nanti menggantikan Ali Khamenei akan menghadapi tantangan jauh lebih kompleks, baik dari dalam negeri yang dilanda krisis ekonomi dan ketidakpuasan rakyat, maupun dari luar negeri yang terus menekan Iran melalui sanksi dan tekanan militer.(P-Jeffry W)