PRIORITAS, 12/7/25 (Strasbourg): Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) di Strasbourg, Perancis, akhirnya memutuskan Rusia berada di balik penembakan jatuh pesawat Malaysia Airlines – MH17, yang menewaskan 298 orang.
Dalam sidang terpisah sebelumnya di pengadilan Belanda, Presiden Rusia, Vladimir Putin, disebutkan ikut terlibat karena menyetujui penggunaan sistem peluru kendali (rudal) Buk, yang menjatuhkan pesawat tersebut.
Ini adalah pertama kalinya pengadilan internasional menyatakan Rusia bertanggung jawab atas tragedi tersebut.
Keluarga korban memandang keputusan itu bersejarah, karena sebagai tonggak penting dalam 11 tahun perjuangan mereka mencari keadilan.
Pengadilan hak asasi manusia tertinggi di Eropa adalah pengadilan internasional pertama, yang memutuskan tanggung jawab Rusia atas jatuhnya pesawat MH17.
“Ini langkah nyata dalam memahami siapa yang sebenarnya bertanggung jawab,” ujar Thomas Schansman, yang kehilangan putranya yang berusia 18 tahun, Quinn, dalam tragedi itu, kepada Associated Press, seperti dikutip Beritaprioritas.com dari CBC News, hari Sabtu (12/7/25).
Ditembak pemberontak Rusia
Pesawat Boeing 777 Malaysia Airlines sedang terbang dari Amsterdam ke Kuala Lumpur, ditembak jatuh pemberontak separatis Rusia menggunakan rudal Buk, ketika berada wilayah di Donetsk, Ukraina timur, pada 17 Juli 2014.
Seluruh 298 penumpang dan awak tewas, termasuk 196 warga negara Belanda.
Pada bulan Mei 2025 lalu, hasil penyelidikan badan penerbangan PBB menemukan bukti Rusia bertanggung jawab atas tragedi pesawat tersebut.
ECHR merupakan bagian penting dari Dewan Eropa , yang merupakan lembaga hak asasi manusia terkemuka di benua ini.
Rusia dikeluarkan dari dewan karena menyerang Ukraina tahun 2022 lalu.
Namun, pengadilan internasional itu, masih dapat menangani kasus-kasus terhadap Rusia yang terjadi sebelum pengusirannya.
Pada tahun 2023, para hakim menemukan adanya cukup bukti yang menunjukkan wilayah di Ukraina timur dikuasai pemberontak separatis “berada di bawah yurisdiksi Federasi Rusia”.
Rusia juga memasok persenjataan serta memberikan dukungan politik dan ekonomi ke pemberontak.
Presiden Putin terlibat
Keputusan pengadilan internasional di Strasbourg terpisah dari putusan pengadilan pidana di Belanda sebelumnya.
Dalam putusan itu, dua warga negara Rusia dan seorang pemberontak Ukraina dihukum secara in absentia atas peran mereka dalam jatuhnya pesawat MH17.
Putusan setebal 501 halaman itu mencatat penolakan Rusia untuk berpartisipasi dalam proses penyelidikan jatuhnya pesawat Malaysia itu, merupakan pelanggaran Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia.
Jaksa internasional mengatakan mereka telah menemukan “indikasi kuat” Presiden Rusia, Vladimir Putin, menyetujui penggunaan sistem rudal Rusia, yang menembak jatuh pesawat Malaysia Airlines.
Mereka mengutip penyadapan telepon antara pejabat Rusia pada tahun 2014, sebagai bukti persetujuan Putin diperlukan sebelum permintaan peralatan militer yang diajukan separatis dapat dikabulkan.
Jaksa mengatakan komandan yang mengarahkan penembakkan isistem rudal yang menjatuhkan pesawat tersebut, berasal dari brigade ke-53 Rusia di Kursk.
Salahsatu keluarga korban, Thomas Schansman, juga telah mengajukan kasus individu ke ECHR.
Ia tidak berencana untuk berhenti mencari keadilan, lebih dari satu dekade setelah kematian putranya dalam tragedi pesawat itu.
“Hal terburuk yang bisa kita lakukan adalah berhenti bertempur,” ujarnya. “jatuhnya pesawat MH17 bukanlah kasus yang akan lenyap bagi Rusia”, tegasnya.
Langgar hukum internasional
Dalam putusan terpisah, ECHR juga menetapkan Rusia melanggar hukum internasional karena melakukan invasi perang di Ukraina.
Ini juga adalah pertama kalinya pengadilan internasional memutuskan Moskow bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia sejak invasi skala penuh tahun 2022.
Hakim di Strasbourg memutus empat kasus yang diajukan Ukraina dan Belanda terhadap Rusia.
Kasus-kasus ini mencakup dugaan pelanggaran hak asasi manusia sejak awal perang, termasuk jatuhnya Malaysia Airlines Penerbangan 17 dan penculikan anak.
Keputusan apa pun sebagian besar akan bersifat simbolis. Berbagai pengaduan diajukan sebelum badan pengurus pengadilan mengusir Moskow pada tahun 2022, menyusul invasi besar-besaran.
Putusan hari Rabu bukanlah putusan terakhir dari EHCR yang menangani perang.
Kyiv memiliki kasus-kasus lain yang tertunda terhadap Rusia. Ada hampir 10.000 kasus yang diajukan individu terhadap Rusia.
Pada tahun 2022, Mahkamah Agung Perserikatan Bangsa-Bangsa memerintahkan Rusia untuk menghentikan operasi militer di Ukraina. Namun Rusia mengabaikan perintah Mahkamah Internasional tersebut.(P-Jeffry W)