KEPUTUSAN pemerintah mengalihkan dana dividen BUMN senilai Rp80 triliun ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) memunculkan dilema fiskal yang tidak kecil. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, dividen BUMN yang selama ini menjadi salah satu penopang pasti penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dialihkan langsung ke badan investasi baru. Akibatnya, target PNBP dalam APBN 2025 terancam jebol.
Diakui Danantara didesain memang merupakan lembaga dana investasi pemerintah yang bertujuan mengonsolidasikan dan mengoptimalkan investasi pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Lembaga ini bertugas mengelola aset negara senilai sekitar Rp14.000 triliun (USD 900 miliar).
Danntara mempunyai tujuan dan fungsi mulia, diantaranya (1) Meningkatkan efisiensi investasi negara: Mengelola investasi pemerintah secara lebih efisien; (2) Mendukung pertumbuhan ekonomi nasional: Mengoptimalkan investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi; (3) Meningkatkan daya saing BUMN: Memperkuat BUMN melalui investasi dan pengelolaan aset yang lebih baik, dan: (4) Mewujudkan kemakmuran jangka panjang: Menjaga aset negara agar terus berkembang dan memberikan manfaat untuk generasi mendatang, belum tersosialisasi dengan sempurna.
Namun tujuan dan fungsi mulia ini masih di atas kertas. Menteri Keuangan Sri Mulyani terang-terangan menyebut akibat pengalihan BUMN ke BPI Danantara berpotensi menurunkan penerimaan negara. Penerimaan hanya akan mencapai 92,9 persen dari target. Singkatnya, ada risiko shortfall sekitar Rp36 triliun dari total target Rp513,6 triliun. Walau pemerintah mengupayakan penambalan dengan mengandalkan BLU, SDA, dan layanan kementerian/Lembaga.
Di atas kertas, BPI Danantara memang digadang-gadang menjadi kendaraan baru untuk memacu investasi nasional. Dana jumbo dari dividen BUMN akan digarap menjadi portofolio strategis, membuka lapangan kerja dan mendatangkan multiplier effect ke sektor riil. Tetapi optimisme semacam ini pernah juga kita dengar ketika pemerintah memindahkan sumber-sumber penerimaan ke lembaga baru dengan janji ‘pertumbuhan masa depan’ yang sayangnya tak selalu berakhir manis.
Kita tentu tidak anti-investasi. Namun publik perlu diingatkan: fungsi dividen BUMN sejatinya adalah menyumbang penerimaan langsung ke kas negara, menambal belanja rutin, subsidi energi, pendidikan hingga kesehatan. Ketika dana ini diubah jalur ke BPI Danantara, ada implikasi konkret: uang belanja negara makin tergantung pada sektor lain yang belum tentu stabil, apalagi saat ekonomi global tak menentu.
Sri Mulyani dan jajaran Kemenkeu sejauh ini terlihat pasrah. Langkah menambal defisit dengan menggenjot BLU, PNBP SDA, dan penerimaan K/L hanyalah solusi tambal sulam. Apalagi, kontribusi dividen BUMN bukan sekadar angka. Ini simbol kehadiran BUMN sebagai agent of value creation yang langsung memperkuat kas negara. Bila dana itu diparkir untuk proyek jangka panjang, publik patut bertanya: siapa yang memastikan imbal hasilnya benar-benar kembali ke rakyat? Dan kapan?
Lebih jauh, langkah ini juga membuka risiko moral hazard. Saat kas APBN tidak lagi menikmati langsung hasil kerja BUMN, akankah BUMN masih punya motivasi setoran dividen tinggi? Atau malah makin sibuk bermain konglomerasi di luar fokus pelayanan publik? Transparansi dan tata kelola BPI Danantara pun wajib diawasi ketat agar tidak menjadi ‘kerajaan investasi’ yang jauh dari akuntabilitas publik.
Mengalihkan dividen BUMN untuk investasi boleh saja, tapi harus diikuti dengan skema yang transparan, pengawasan melekat, serta jaminan manfaat balik yang nyata bagi rakyat — bukan sekadar narasi ‘strategis’ di atas kertas. Sri Mulyani mungkin bisa menambal target PNBP tahun ini, tetapi risiko fiskal jangka panjang menunggu di tikungan. Pemerintah mesti mawas, jangan sampai kita kelak bertumpu pada harapan semu.*