PRIORITAS, 2/7/25 (Jakarta): Modus penipuan bermotif kegiatan sosialisasi kembali marak terjadi, kali ini mencatut nama Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan RI) dan menggunakan lokasi hotel mewah di Jakarta sebagai bagian dari skenario penipuan. Pelaku menjanjikan undangan resmi, pengembalian dana (cashback), hingga fasilitas penginapan, namun justru menjebak korban untuk membayar sendiri biaya reservasi hotel dengan dalih biaya akan diganti setelah acara.
Salah satu korban yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan kronologi kejadian kepada media ini, Selasa (1/7/2025). Ia dihubungi oleh seseorang yang mengaku sebagai “Boedi Hartono, dari Kementan RI” melalui WhatsApp dan diminta melengkapi formulir pendaftaran serta mengirim undangan resmi yang telah diterimanya.
Dalam pesan-pesan yang dikirim oleh pelaku, terselip pola bujuk rayu, tekanan, dan serangkaian iming-iming bahwa seluruh peserta lain telah berhasil diregistrasi dan dana penginapan mereka telah diganti oleh pihak kementerian.
“Urusan tiket PP dan reservasi hotel, cashback pengembalian dana keseluruhan dari Kementan,” tulis pelaku pada 30 Juni 2025.
“Seluruh peserta yang lain alhamdulillah sudah diregistrasi dan selesai reservasi hotel… Proses pengambilan dana cashback dari Kementan ditransfer ke rekening bank peserta yg dilapor,” lanjutnya.
Pelaku juga mendesak korban agar segera melengkapi dokumen registrasi dan melunasi biaya hotel terlebih dahulu agar tidak dianggap terlambat.
“Mohon bersabar menunggu sejenak akan saya kirimkan data invoice pemesanan reservasi hotel untuk dilunasi sementara saat ini… Kami sangat butuhkan formulir peserta yg lengkap cap stempel dikarenakan sebagai bukti laporan saya untuk mengajukan dana cashback langsung ditransfer kembali ke rekening bank peserta,” desaknya.
Tak hanya itu, pelaku juga sempat meminta nomor rekening pribadi, termasuk opsi penggunaan BRImo, untuk keperluan pengembalian dana yang tak kunjung terjadi.
Modus ini menggabungkan unsur rekayasa sosial (social engineering) dan manipulasi administratif. Pelaku menciptakan kesan legalitas dengan menyertakan dokumen tiruan berupa undangan resmi, formulir pendaftaran yang harus diberi stempel lembaga, serta mengklaim kegiatan berada di bawah koordinasi kementerian.
Korban menyebut, dirinya sempat hampir mentransfer biaya penginapan yang nilainya jutaan rupiah, namun urung melakukannya karena curiga dengan intensitas desakan pelaku yang terus-menerus.
“Saya awalnya percaya, karena bahasanya rapi dan sangat birokratis. Tapi lama-lama mereka mendesak seperti sales. Katanya ‘hotel menunggu pelunasan sekarang’, lalu minta nomor rekening segala. Di situ saya curiga, ini penipuan,” ungkap korban yang akrab dipanggil ustaz.
Peringatan bagi masyarakat
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Kementerian Pertanian RI. Namun berdasarkan penelusuran awal, tidak ada kegiatan sosialisasi kementerian yang diselenggarakan dengan skema biaya mandiri terlebih dahulu lalu di-refund. Kegiatan resmi kementerian umumnya dilakukan melalui saluran administrasi yang jelas, surat keputusan, dan ditangani langsung oleh pejabat yang dapat diverifikasi.
Modus seperti ini sebelumnya juga muncul di kementerian lain, dengan pola serupa: undangan palsu, janji pengembalian dana, dan tekanan waktu yang membuat calon korban merasa harus segera bertindak.
Pakar keamanan siber menyarankan agar masyarakat, selalu memverifikasi nomor dan identitas pengirim undangan, terutama bila mengatasnamakan instansi pemerintah. Selain itu, tidak mudah percaya pada janji “uang kembali” atau “cashback” tanpa kejelasan alur birokrasi, menolak keras permintaan pembayaran apapun jika berasal dari sumber yang tidak resmi dan melaporkan upaya penipuan ke Polri, Kominfo, atau situs pengaduan resmi seperti patrolisiber.id.
Kasus ini menjadi pelajaran penting di era digital, bahwa penipuan kini menyusup lewat tampilan profesional dan birokrasi palsu. Hanya dengan ketelitian, verifikasi langsung, dan sikap waspada, masyarakat dapat terhindar dari jebakan licik yang mengatasnamakan institusi negara. Jangan sampai niat mengikuti kegiatan resmi justru berujung menjadi korban kejahatan siber yang terorganisir. (P-*MU/bwl)