PRIORITAS, 24/6/25 (Jakarta): Sejak tiga fasilitas nuklirnya menjadi sasaran serangan Amerika Serikat (AS) pada Sabtu (21/6/25) lalu, Iran menghadapi serangan paling besar dalam beberapa dekade. Teheran tampak nyaris sendirian melawan AS dan Israel dengan intensitas tinggi.
Kelompok Hizbullah, Houthi, Hamas disebut melemah, sementara mitra strategis seperti Rusia, China, dan negara-negara Arab hanya memberi dukungan verbal tanpa intervensi militer atau bantuan nyata. Iran kini hanya mengandalkan retorika solidaritas dari sekutu.
Firas Maksad dari Middle East Institute mengungkap, strategi Iran membentuk jaringan milisi proksi selama puluhan tahun mulai runtuh. Milisi tersebut semula difungsikan untuk menekan Israel sekaligus menjauhkan konflik dari wilayah inti Teheran.
Setelah Revolusi 1979 dan perang melawan Irak, Iran mengalokasikan miliaran dolar, persenjataan, serta sumber daya militer untuk membangun kekuatan proksi seperti Hamas, Hizbullah, Houthi, dan milisi Syiah Irak. Pendekatan ini terbilang efektif hingga sekitar tahun 2020.
Serangan drone AS 2020
Kematian Jenderal Qassem Soleimani akibat serangan drone AS pada 2020 menjadi pukulan besar. Upaya membangun struktur komando lebih terpusat sesungguhnya menyederhanakan koordinasi, namun justru membuka celah agar intelijen Israel bisa menyusup.
Serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 turut memperparah situasi; organisasi ini kehilangan ribuan pejuang dan kekuatan militernya menurun tajam. Di Lebanon, Israel menghancurkan arsenal Hizbullah dan menggoyang posisi politiknya.
Kamuannya semakin sulit setelah rezim Assad runtuh pada Desember 2024, memutus jalur logistik utama Iran ke Lebanon. Akibatnya, kemampuan pasokan senjata pun tersendat, menyulitkan Iran mempertahankan jaringan proksinya. (P-*r/Zamir Ambia)