25.1 C
Jakarta
Thursday, June 19, 2025

    Ketika konstituen Dewan Pers hanya jadi papan nama

    Terkait

    Oleh : Tundra Meliala
    Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat

    SEJAK disahkannya Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 04/SK-DP/III/2006 tentang Standar Organisasi Wartawan, publik pers Indonesia memiliki pedoman yang tegas tentang siapa yang berhak menyandang status sebagai organisasi wartawan konstituen Dewan Pers. SK yang ditandatangani oleh Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA pada 24 Maret 2006 ini lahir dari Sidang Pleno III Lokakarya V yang kala itu dihadiri 27 organisasi wartawan.

    Namun setelah hampir dua dekade, hanya empat dari 27 organisasi wartawan itu yang memenuhi syarat sebagai konstituen: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI). Sisanya lenyap atau tidak memenuhi standar, baik dari sisi administratif maupun faktual.

    Padahal, ke-27 organisasi wartawan kala itu sepakat dengan 13 syarat ketat yang ditetapkan Dewan Pers, mulai dari status badan hukum, kepengurusan nasional, distribusi wilayah, jumlah anggota minimal 500 orang, hingga pembentukan dewan etik internal. Artinya, siapa pun yang ingin menjadi konstituen tidak hanya wajib memenuhi syarat, tetapi juga menjaga marwah sebagai organisasi pers yang profesional dan kredibel.

    Sayangnya, semangat awal ini seperti kehilangan napas. Jika di awal terlihat selektif, kini justru muncul pertanyaan: apakah Dewan Pers masih menjalankan fungsi pengawasan terhadap konstituennya?

    Terus Menyusut

    Untuk organisasi perusahaan pers, Dewan Pers saat ini mengakui tujuh asosiasi sebagai konstituen: JMSI, SMSI, AMSI, PRSSNI, ATVLI, ATVSI, dan SPS.
    Dinamika industri media yang begitu cepat berubah seharusnya menjadi cermin untuk meninjau ulang eksistensi mereka. Apalagi sebagian asosiasi kini justru terancam tinggal nama.

    Ambil contoh organisasi yang mewadahi radio siaran swasta. Dalam satu dekade terakhir, terutama pasca-pandemi Covid-19, jumlah radio anggota konstituen menyusut drastis. Menurut data Kementerian Kominfo, pada 2020 tercatat ada sekitar 580 lembaga penyiaran radio di seluruh Indonesia, tetapi hanya sebagian kecil yang aktif secara reguler. Banyak yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan _platform_ audio digital seperti Spotify atau YouTube.

    Asosiasi yang dulunya aktif menyuplai berita lewat jaringan radio lokal kini mulai kehilangan relevansi. Kegiatan mereka lebih terdengar saat tahun politik menjelang, bukan sebagai organisasi yang giat membina dan memperkuat daya saing anggotanya

    Hal yang sama terjadi pada konstituen yang menaungi media surat kabar. Saat ini organisasi media cetak apapun namanya sudah kehilangan banyak anggota. Tutupnya surat kabar cetak nasional maupun lokal membuat posisi organisasi sejenis kian ringkih. Dalam laporan Dewan Pers, jumlah media cetak yang masih terbit secara berkala di Indonesia tinggal 307, dari lebih 1.000 pada awal 2010-an. Sekitar 60 persennya telah migrasi ke bentuk digital atau mati total.

    Maka pertanyaannya: apakah organisasi konstituen itu masih menjalankan fungsi pembinaan, edukasi, dan advokasi industri pers cetak yang kini berubah menjadi digital? Ataukah hanya menjadi “tukang stempel” untuk keperluan administratif?

    Uji Dewan Pers

    Logika konstituen sangat sederhana. Jika suatu organisasi disebut konstituen Dewan Pers, maka ia wajib memenuhi seluruh standar yang ditetapkan. Tidak hanya saat mendaftar, tetapi juga sepanjang masa keanggotaannya. Dalam hal ini, Dewan Pers memiliki dua tugas besar: pertama, melakukan verifikasi awal; kedua, mengawasi kesinambungan.

    Namun, sejauh ini tidak pernah ada kabar organisasi yang dicabut status konstituennya. Padahal, situasi lapangan menunjukkan ada konstituen yang nyaris tidak punya kegiatan, tidak diketahui siapa pengurusnya, dan tidak ada data transparan soal jumlah anggotanya.

    Dewan Pers seolah lebih sibuk menjaga harmoni semu dibanding menguji ketepatan keputusan yang sudah diambil. Padahal, jika konstituen terus dipertahankan hanya demi formalitas, publik akan mempertanyakan otoritas moral dan profesional lembaga ini.

    Apalagi, peran Dewan Pers saat ini sangat penting dalam menghadapi banjir informasi palsu di era digital. Pers Indonesia butuh organisasi yang tidak hanya papan nama, tapi bekerja nyata—dari mendampingi, melatih, mengadvokasi, sampai ikut menyusun peta jalan transformasi digital media.

    Tahun politik 2024 sebenarnya telah menguji ulang komitmen organisasi-organisasi pers. Pada saat disinformasi dan propaganda merajalela, masyarakat menanti apakah media dan organisasi wartawan mampu menjaga integritas informasi atau justru ikut menjadi saluran amplifikasi.

    Dewan Pers mesti membuka ruang evaluasi publik: bagaimana mekanisme audit tahunan terhadap konstituennya. Berapa jumlah anggota aktif mereka? Apa saja kegiatan profesional yang telah dilakukan? Jika tak mampu menjawab ini, maka Dewan Pers akan kehilangan legitimasi sebagai penjaga kemerdekaan pers.

    Kita tidak sedang mencari siapa yang salah, tetapi bagaimana mengembalikan standar agar organisasi wartawan dan perusahaan pers kembali menjadi kekuatan moral dan intelektual. Kita tidak butuh banyak organisasi jika yang ada pun hanya papan nama.

    Yang kita butuhkan hari ini adalah organisasi wartawan yang benar-benar hidup—punya program, punya anggota, punya dampak. Di era media sulit mendapat profit, organisasi idealnya menjadi penunjuk jalan menuju kemudahan. Dan untuk itu, Dewan Pers harus mulai dari dirinya sendiri: menguji keputusannya, mengawasi pelaksanaannya.

    Karena marwah pers bukan terletak pada banyaknya asosiasi, tetapi pada kesetiaan terhadap standar yang telah ditetapkan.(*)

    Viral

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    Headline News

    Terkini