PRIORITAS, 18/12/24 (Jakarta): Saat ini banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan diselesaikan secara adat dengan pernikahan antara pelaku dengan korban. Hal ini amat disayangkan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni.
Logika atas penyelesaian secara adat tersebut, menurutnya, keliru dan sangat berbahaya terutama terhadap korban karena yang bersangkutan sudah trauma dan kemungkinan besar menerima pernikahan di bawah tekanan.
“Saya kira logika kearifan lokal yang seperti ini perlu dikoreksi. Ini jelas keliru dan perlu diubah. Kekerasan seksual itu jelas merupakan kejahatan dan ada pidananya, bukan suatu takdir yang seakan dimaklumi begitu saja,” ujar Sahroni kepada wartawan, Rabu (18/12/24).
Selanjutnya, Sahroni terang-terangan mengkritik banyak orang tua yang justru mendukung pernikahan pasca terjadi kekerasan seksual. Hal ini, menurutnya, tidak bisa serta merta dianggap cara-cara kekeluargaan atau adat bisa menentukan nasib hidup korban kekerasan seksual.
“Apalagi dari banyak kasus, sang korban justru mendapat tekanan dari orang tua untuk menikahi pelaku. Ini kan salah. Korban kan sudah trauma, jangan justru dinikahkan dengan pelaku,” tandas politikus Nasdem ini.
Polisi harus tegas
Karena itu, Sahroni meminta pihak kepolisian mengambil langkah-langkah tegas dalam menyikapi kasus kekerasan seksual. Terutama, kata dia, demi mencegahnya pernikahan paksaan yang kerap terjadi.
“Maka saya selalu minta polisi terbiasa untuk jemput bola dalam setiap kasus kekerasan seksual. Polisi harus menjadi pihak yang memberikan ketegasan, bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan dan wajib dihukum pidana,” tutur dia.
“Bayangkan si korban harus menikahi pelaku, dari awal saja sudah kriminal, apalagi ke depannya? Inilah juga menjadi salah satu alasan banyaknya terjadi KDRT dan perbuatan keji di rumah tangga,” tambah Sahroni.
Karena itu, Sahroni berharap setiap korban dari kasus kekerasan seksual bisa mendapat keadilan yang sesungguhnya. “Korban kasus kekerasan seksual seharusnya mendapat keadilan, bukan paksaan. Polisi harus lindungi korban dari upaya mediasi ‘cuci otak’ yang menyebut menikahi pelaku merupakan solusi,” demikian Sahroni.
Perlu kajian dan penelitian khusus
Diketahui, sebelumnya Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyebut banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang diselesaikan melalui cara adat atau tradisi dengan dinikahkan antara pelaku dan korban. Kapolri berpendapat, perlu kajian dan penelitian khusus terkait penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan pernikahan karena pihak pihak yang protes dengan solusi tersebut.
“Apakah karena itu kemudian diselesaikan dengan tradisi yang ada di wilayah masing-masing, karena memang kadang kala ini juga yang sering didapatkan protes, masalah-masalah tersebut kemudian diselesaikan dengan cara dinikahkan, tetapi pertanyaannya apakah kemudian dengan dinikahkan tersebut kemudian masalah bisa selesai?” ujar Kapolri saat membuka kegiatan “Gender Mainstreaming Insight” dan Launching Direktorat Tindak Pidana PPA dan PPO Bareskrim Polri di The Tribrata, Jakarta Selatan, Selasa (17/12/24) lalu.
Disebutnya, hal itu perlu ada penelitian mendalam, sehingga kalau memang ternyata cara-cara seperti itu ternyata tidak cocok, tentunya perlu disiapkan cara yang paling pas.
“Sehingga di satu sisi yang namanya kekerasan terhadap perempuan terhadap anak betul-betul bisa kita tekan, di sisi lain penyelesaiannya pun juga sesuai dengan apa yang diharapkan oleh perempuan dan anak,” tambah Listyo Sigit Prabowo, terkait kasus kekerasan seksual diselesaikan dengan pernikahan. (P-jr)