PRIORITAS, 9/12/24 (Jakarta): Diservikasi pangan lokal dapat menjadi salah satu kunci pencegahan stunting karena dapat meningkatkan asupan gizi pada anak-anak. Pangan lokal yang secara awam dikenal sebagai “menu rumahan” atau “masakan rumahan”, sebenarnya kaya zat gizi.
Peneliti dari Pusat Riset Agroindustri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sri Widowati, mengatakan hal itu dalam webinar yang diikuti di Jakarta Senin (9/12/24). Ia mengatakan, budaya konsumsi pangan lokal di Indonesia memiliki banyak manfaat dan kaya gizi. Namun sayangnya, terjadi fenomena di mana makanan siap saji dari kota masuk ke desa-desa sehingga budaya konsumsi pangan lokal mulai kurang diminati.
Dikatakannya, sekarang banyak makanan jajanan dari kota dibawa ke desa. Meskipun harganya relatif mahal sebetulnya tapi sangat tasty, jadi lidah anak dari awal sudah terbiasa seperti itu.” Kadang-kadang juga kalau ibu masak rumahan, kurang diminati,” kata Sri.
Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama. Sri mengatakan, stunting juga dipengaruhi aspek perilaku, terutama pola asuh yang kurang baik dalam praktik pemberian makan bagi bayi dan balita.
“Tentu saja pencegahannya dengan nutrisi pada 1.000 hari pertama kehidupan, makanya keanekaragaman atau diversifikasi pangan lokal ini sangat bisa membantu untuk mengatasinya. Tentu dengan didukung pola hidup yang sehat, edukasi terutama pola makan bergizi, akses terhadap sanitasi, dan sebagainya,” katanya.
Masih bergantung pada beras
Sri lalu mencontohkan, diversifikasi pangan lokal yang bisa diadaptasi seperti mengolah ikan menjadi nugget dengan sayuran seperti kelor, brokoli, dan bayam. Diversifikasi pangan lokal juga dapat dilakukan dengan mengintegrasikan produk inovasi pangan lokal ke dalam program gizi di posyandu dan sekolah.
Ditambahkannya, diversifikasi pangan memungkinkan pengembangan potensi lokal yang sesuai dengan kondisi geografis dan iklim setempat. Kemudian, pangan lokal dapat diolah menjadi makanan bergizi yang lebih diterima oleh budaya masyarakat dan tersedia di wilayah tersebut. Di samping itu, diversifikasi olahan pangan lokal sekaligus dapat menambah keterampilan dan nilai ekonomis.
Namun, ujar Sri, diversifikasi pangan lokal masih menghadapi kendala tantangan, yaitu belum berjalannya penganekaragaman konsumsi pangan dengan optimal. Hal ini diindikasikan dengan pola konsumsi masyarakat yang masih bergantung pada komoditas beras sebagai sumber karbohidrat.
Sri mengatakan, masyarakat Indonesia umumnya mengonsumsi nasi lebih banyak dibandingkan komposisi gizi lainnya dalam satu piring. Ia mendorong masyarakat untuk menyeimbangkan kembali komposisi makanannya dan memilih alternatif karbohidrat lainnya seperti umbi-umbian. Ia juga mendorong orang tua untuk memperhatikan diversifikasi pangan pada anak-anak sejak dini.
“Beragam, Bergizi, Seimbang, Aman”
Menurutnya, penerapan kaidah pangan B2SA (beragam, bergizi, seimbang, dan aman) dalam kehidupan sehari-hari juga merupakan kunci pencegahan stunting. Dalam kaidah B2SA, satu piring diisi dengan sepertiga makanan pokok, sepertiga sayuran, seperenam lauk-pauk, serta seperenam buah-buahan.
Indonesia, ujar Sri, merupakan negara kepulauan dengan masing-masing daerah memiliki kekhasan dan keanekaragaman sumber pangan. Ia pun mengajak masyarakat untuk memanfaatkan sumber pangan lokal apapun secara maksimal.
Merujuk pada hasil identifikasi Bapanas, ia menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati berupa 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis sumber protein, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 26 jenis kacang-kacangan, hingga beragam jenis bahan minuman serta rempah dan bumbu.
“Ini semua -potensi keanekaragaman hayati- akan memperkuat kemandirian, kedaulatan pangan dan ketahanan pangan nasional,” kata Sri. (P-ht)